Posts Tagged Mamah Gajah Ngeblog

Resep Kangen Bandung

Saya nggak suka masak.
(Pembukaan yang intriguing) :3

Karenanya saya jadi tidak begitu antusias kalau urusan dapur. B-lah. Biasa aja. Mungkin ada kaitannya dengan trauma dahulu kala. Tapi kata orang-orang, masak dan masakan ibu adalah salah satu hal yang bakal dikangenin anak-anak kalau mereka sudah besar nanti. Sebuah motivasi yang besar, bukan? Tapi sayangnya saya tetap tidak bisa suka masak (sad).

Masak buat saya adalah kebutuhan. Walau demikian, salah satu komitmen keluarga kecil kami adalah menjadikan kegiatan di dapur jadi salah satu waktu favorit berkumpul bersama anak-anak. Mereka selalu bilang “Okaasan ni tetsudatte ageru koto ga daisuka.” Ceunah mereka paling suka kalau bantuin ibunya (di dapur). Padahal masakannya mah kitu-kitu wae. Alhamdulillah mereka tetap antusias, ehehe.

Nah, katanya, kalau tinggal di luar negeri pasti harus bisa bikin bakso.
Sejujurnya saya nggak begitu suka makan bakso, mie bakso, dan sejenisnya di Indonesia. Nggak begitu bisa masuk ke perut. Eh, tapi sejenis bakso Toko You dan Akung mah suka ketang. Dan karena suami suka, maka baiklah, mari selalu menghadirkan makanan wajib orang Indonesia ini. Nga-bakso! Dan berbagi resep ini juga untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei.


Saya akan mencoba berbagi resep bakso keluarga kami. Tentunya makan bakso enaknya ditemani seseorang sesuatu. Supaya ada kuahnya dan nggak indomie banget, saya coba berbagi resep mie kocok Bandung! Mie kocok Kebon Jukut adalah salah satu yang paling bikin kangen kalau di Bandung. Untungnya nggak perlu jauh-jauh, dulu cabangnya Pak Endan ini ada juga di Arcamanik. Jadi lumayan sering diicip-icipi. Tapi kini jarak dan waktu telah memisahkan kita dan perlu dihadirkan kembali, fufufu.

Nah, mie kocok Bandung ini tahun lalu jadi menu berbagi malam takbiran dan lebaran. Kebetulan juga sejak kecil keluarga saya tidak pernah masak menu mainstream lebaran, euy, seperti ketupat, kari ayam, dan gulai (ini bukan, sih?). Jadi sejak menikah juga saya biasa masak yang tanpa santan seperti sop buntut, sop iga, coto (ada sih, ya, ini), lidah, dan kali ini mie kocok lengkap (tanpa kerupuk aci sayangnya). Berhubung anak-anak suka sekali ngebulet-buletin, maka mereka bisa dimanfaatkan, fufufu.

Alhamdulillah bahan mentah halal di Jepang tidak begitu sulit diperoleh secara online. Di sini banyak toko halal online Bangladesh yang menyediakan aneka jenis daging (walau dalam kemasan relatif besar).


Pertama mari bikin bakso sapi dengan bahan sebagai berikut:

400 gram daging sapi cincang

200 gram daging ayam cincang

1 telur ayam ukuran L (ini saya amaze sekali di sini. Ukuran telur ayam bisa seragam dari SS, S, M, dan L).

4 sdm garlic paste (supaya tidak pakai food processor dua kali atau nyuci blender, saya lebih senang pakai yang pasta dari pada bawang putih biasa – bilang aja males, ehehe)

1 sdt merica (suka yang masih coarse, bukan yang bubuk)

1 sdt garam

2 sdt kaldu sapi

1/2 sdt baking powder

5 sdm air dingin

3 sdm tepung sagu dan 2 sdm tepung tapioka

Caranya, campurkan semua daging cincang, telur, bawang putih, merica, garam, kaldu sapi, dan baking powder ke dalam food processor. Setelah tercampur, masukan air dingin (kalau bisa es malah). Terakhir setelah tercampur, tambahkan tepung dan food process kembali hingga tercampur sempurna. Jangan terlalu lama bila menginginkan tekstur bakso yang tidak terlalu halus. Oiya, di awal panaskan air dulu di panci. Jadi setelah mendidih, adonan bakso tinggal dibulat-bulatkan dan dicemplung. Diangkat ketika sudah mengapung, ya. Lalu air rebusan jangan dibuang. Tinggal ditambah gula-garam-merica untuk kaldu.

Bakso ini bakal nemenin mie kocok. Bisa juga mie ayam jamur. Atau anak-anak suka ditusuk-tusuk seperti sate dan digado. Kurang lebih resep untuk Mie Kocok Bandung sebagai berikut:

500 gram – 2 kg kikil sapi

4 lbr daun salam

2 cm lengkuas (memarkan)

2 cm jahe (memarkan)

1 sdt gula pasir

1 sdt kaldu sapi

1 sdt garam

Semua bahan di atas direbus dalam panci presto selama 35 menit (setelah bunyi, ya!). Sambil merebus, siapkan tumisan bumbu halus sebagai berikut:

6 butir bawang merah

4 butir (sdm) bawang putih (saya pakai garlic paste)

1/2 sdt merica yang masih kasar

2 butir kemiri (sangrai supaya keluar aromanya)

1 sdm ebi kering

Semua bahan bumbu di atas, di-food process atau di-blender. Lalu ditumis dengan minyak secukupnya hingga harum dan matang.

Setelah prestoan kikil matang, potong-potong sesuai selera. Masukan kembali ke panci bersama tumisan bumbu halus. Koreksi rasa. Tambahkan bawang seledri, perasan jeruk nipis (saya lemon punyanya), tambah rebusan tauge/ kecambah bisa juga (tergantung selera), dan bawang goreng serta kecap jika suka.

Air dan tulang kikilnya suka saya bagi dua buat simpanan kaldu kikil sapi kalau sewaktu-waktu mau bikin kuah kaldu lagi. Alhamdulillah kuahnya yang segar nikmat pas menemani kota Sendai yang “sejuk”-nya lama. Selain itu, tentunya bisa ditemani dengan bikin bakso tahu (atau tahu baxo, kalau kata suami) dan pangsit goreeeng. Dan, mending bikinnya sekalian banyak, bisa buat frozen food.

Semoga bermanfaat 🙂

Comments (2)

Memilih Pintu Bernama Jurusan

Bukan Jalan tol

Saya masih ingat dulu pas SMA, Dani, teman sekelas saya bilang kalau udah sekolah di SD dekat kantor walikota, lanjut SMP di jalan Sumatera, dan SMA di Belitung, pasti udah jalan tol buat masuk Ganesha. Jujur, itu kalimat dia sukses buat saya nggak percaya diri. Track jalan saya nggak lewat jalur tol yang sama seperti dia. Dan kalimat itu bikin saya ciut. Yup! Masuk sekolah seberang Pangdam itu membuat saya jungkir balik belajar setengah mati. Bahkan nilai NEM saya hanya beda nol koma sekian saja dari passing grade. Dan itu ternyata terulang kembali setiap kali ikutan tryout SMPB.

Masih inget sama tiket jalan tol zaman Pak Harto yang dulu masih warna-warni? Huff, ternyata tidak memberi wawasan yang warna-warni kala mengenakan seragam putih abu-abu dan menginjakkan kaki ke Belitung. Semua guru seperti berkomplot kalau lulusan sekolah ini harus, kalau nggak, pindahan ke ITB, ya, Kedokteran. Serius! Itu yang tertanam di kepala saya sejak harus menentukan masuk IPA atau IPS, atau dari pas masuk kelas 1 bahkan! Dimulai dengan dibukanya les matematika, fisika, dan kimia oleh guru-guru yang membuat saya meringis. Atuhlah. Dan saya yang belum pernah nge-les, terpaksa nyobain salah satunya karena nilai saya 4! Ahahaha. Mendadak merasa kerja keras saja tidak cukup di sini, Kakaaa! Apalagi buat yang pas-pasan gini. Saya yang dulu suka pelajaran eksakta, jadi ilfil. Udah mah bisa juga karena usaha keras bukan karena pinter bawaan, Bapak-Ibu guru juga seperti menyepelekan ketika salah seorang teman saya memilih IPS. Kenapa, sih?

Jadi apa alasan ikut pindahan?

Namanya Bu Budi. Kalau nggak ada beliau, saya yakin saya juga bakal pilih IPS (mengikuti jejak orang tua). Peduli banget sama cita-cita saya dulu pengen jadi dokter. Jujur, rasanya sekolah ini, kok, hanya menghargai anak IPA (curhaaat). Berkat beliau, saya tetap mencintai Biologi yang walaupun lagi-lagi dengan modal rata-rata karena suka, bukan bisa. Karena nyatanya nggak pernah jadi perwakilan IBO bahkan tingkat kelas pun, ehehehe. Dan cita-cita jadi dokter tetap saya pupuk tapi kemudian pupus karena tahu berapa banyak pundi-pundi yang harus dikeluarkan ibu saya nanti. Dan alasan lainnya, karena beliau nggak mengizinkan anaknya keluar kota Bandung. Iya, Jatinangor itu, kan bukan Bandung. Apalagi Salemba.

Fix. Maka pilihan saya hanya satu. Ganesha 10. Titik.

Lalu harus masuk jurusan apa? Jelas teknik adalah kosakata yang menyeramkan buat saya yang gagal CLBK sama matematika dan fisika dari SMP ke SMA. Apalagi bangun ruang saya jongkokkk. Nggak kebayang gimana harus mendesain dan merancang seisinya. Maka berbekal rasa sayang saya pada Bu Budi dan Biologi, saya pun mantap memilih.

Masih pindah lagi

Masih dengan rasa percaya diri yang rendah, ketika malam pengumuman lewat internet tiba, saya sholat dan berdoa dulu sebelum ke rumah Tante satu-satunya yang punya internet di rumah. Serius kalut, saya kembali mengingat kata-kata sahabat saya yang bilang, “Jangan terlalu bersedih hanya karena ini!” begitu hanya presentase 10% saja yang muncul saat menyamakan kunci jawaban di kertas SPMB dengan SSC (Iya, akhirnya saya ikut SSC begitu sadar diri dengan nilai tryout yang syalalala). Milih Jurusan 106 aja prosentase kesuksesannya hanya 10%! Gimana kalau teknik? Minus mungkin. Cried.

Tapi masya Allah, Allahu Akbar! Bener, ya, jalan hidup ini teh bukan karena kita bisa dan bekerja keras semata, tapi karena ada Allah yang memudahkan! Nomor ujian saya pun terkonfirmasi di serentetan panjang kelulusan di koran Pikiran Rakyat keesokan paginya.

Tapi bukan hidup kalau setelah mendapat apa yang dituju akan mulus begitu saja. Masuk TPB, saya ketemu lagi sama tiga mata pelajaran, eh kuliah yang sukses hanya dapat D! Whaiii!!! Dan ternyata saya kelimpungan belajar tentang hewan, ahaha. Serius saya punya fobia sama mereka.

Qodarullah, di akhir semester ada bukaan pindah jurusan ke Mikrobiologi. Apa bedanya sama Biologi? Di sana kita fokus sama yang mikro-mikro aja. Mulai dari bakteri, virus, jamur mikroskopis, dan protozoa, serta Archaea; yang dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, industri, dan lingkungan. Dan berdasarkan petuah dari Om dan Tante, yang bilang katanya mikroorganisme (saat itu) baru teridentifikasi 2%, maka insya Allah peluang yang terbuka ke depan akan lebih banyak. Maka tanpa ragu dan bimbang, saya ikutan tes dan alhamdulilah keterima.

Maka di sanalah saya mencintai bakteri dan virus sebagai makanan sehari-hari. Dan saya pikir saya akan bisa kembali ke jalur yang nyerempet ke Kedokteran. Tapi jalan yang berbeda ditawarkan oleh Allah. Apakah saya akan terus berjuang di bidang Mikrobiologi Kesehatan sambil ngambil kelas-kelas Farmasi atau coba yang lain. Karena ternyata, eh ternyata, saya hobi banget terinfeksi sampai thypus beberapa kali selama kuliah. Subhanallah.

Mata jadi Terbuka!

Awalnya sedih. Merasa kehilangan keminatan. Okelah nggak jadi dokter, bisa agak nyerempet. Tapi …. Masya Allah, saya dipertemukan dengan salah satu inspirasi, Bu Nur. Beliau yang membuka wawasan saya bahwa apa yang saya pelajari ini nggak kecil, kok. Memberi banyak pengaruh dalam ilmu pengetahuan. Dan Mikrobiologi adalah salah satu black box di balik kegiatan teknik berbau bioproses. Maka berbekal ilmu dan inspirasi dari beliau, di sinilah saya sekarang. Kecemplung di dunia Mikrobiologi Lingkungan dan Perminyakan. Mencoba menjadi salah satu puzzle dari suatu Big Picture.

Berkat beliau, saya jadi lebih percaya diri. Nggak begitu ingat lagi dengan guru SMA yang hanya bilang, “Oh,” ketika saya menjawab masuk Biologi dan alih-alih memberi selamat pada teman-teman saya yang masuk Teknik ABCDE. Saya juga jadi lebih terbuka dan positif bekerja sama dengan teman-teman engineer di kantor. Dan saya tercerahkan bahwa selain slogan “Knowledge is Power, but Character is More, – and Lucky is More than More,” but the Most Important is Syukur! Berdiam sebentar, bertafakur menyelami sejuta hikmah di balik jatuh bangun dan air mata menatap beberapa nilai D yang sampai saat ini masih mewarnai transkrip, membuat saya bersyukur kalau jalannya tidak sesakit ini, mungkin tidak akan menjadi pecut untuk terus berjuang hingga lulus Final Defense bulan lalu.

Maha Besar Allah yang memperkenalkan saya dengan banyak pintu-pintu pembelajaran dan belajar menyelami apa yang sudah diusahakan hingga saat ini. Tidak mungkin sampai pada titik ini (yang diawali dengan takut, sesal, dan bimbang) tanpa seizin Allah, doa, dan dukungan supporting system yang Allah kirimkan untuk saya. Alhamdulillah.

Terima kasih Mamah Gajah Ngeblog yang telah membuat saya kembali bersyukur dengan mengingat jalan yang terus diusahakan ini, melalui Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Maret. Semoga sharing ini bisa menjadi pengingat (saya kembali pada khususnya) bahwa sesulit apapun yang dihadapi di depan, akan terbuka jalannya, dan selalu ada hikmah di baliknya. Ikhtiar, tawakal, sabar, dan iklhas. (PR besar melangkah menuju hari esok). Dan hey, memilih pintu bernama jurusan itu nggak ada yang kurang atau lebih, kok. Setiap orang punya jalannya masing-masing 🙂

Comments (12)