Spring

)

One of the thing about spring, it’s the season of change. It’s the time that the ice melts. Perhaps, for every flower, it’s quite a burden to wait for the ice melts. But when the time comes it will blooms entirely.

[Autumn to Spring on 08.08.2008]

Comments (2)

Resep Kangen Bandung

Saya nggak suka masak.
(Pembukaan yang intriguing) :3

Karenanya saya jadi tidak begitu antusias kalau urusan dapur. B-lah. Biasa aja. Mungkin ada kaitannya dengan trauma dahulu kala. Tapi kata orang-orang, masak dan masakan ibu adalah salah satu hal yang bakal dikangenin anak-anak kalau mereka sudah besar nanti. Sebuah motivasi yang besar, bukan? Tapi sayangnya saya tetap tidak bisa suka masak (sad).

Masak buat saya adalah kebutuhan. Walau demikian, salah satu komitmen keluarga kecil kami adalah menjadikan kegiatan di dapur jadi salah satu waktu favorit berkumpul bersama anak-anak. Mereka selalu bilang “Okaasan ni tetsudatte ageru koto ga daisuka.” Ceunah mereka paling suka kalau bantuin ibunya (di dapur). Padahal masakannya mah kitu-kitu wae. Alhamdulillah mereka tetap antusias, ehehe.

Nah, katanya, kalau tinggal di luar negeri pasti harus bisa bikin bakso.
Sejujurnya saya nggak begitu suka makan bakso, mie bakso, dan sejenisnya di Indonesia. Nggak begitu bisa masuk ke perut. Eh, tapi sejenis bakso Toko You dan Akung mah suka ketang. Dan karena suami suka, maka baiklah, mari selalu menghadirkan makanan wajib orang Indonesia ini. Nga-bakso! Dan berbagi resep ini juga untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei.


Saya akan mencoba berbagi resep bakso keluarga kami. Tentunya makan bakso enaknya ditemani seseorang sesuatu. Supaya ada kuahnya dan nggak indomie banget, saya coba berbagi resep mie kocok Bandung! Mie kocok Kebon Jukut adalah salah satu yang paling bikin kangen kalau di Bandung. Untungnya nggak perlu jauh-jauh, dulu cabangnya Pak Endan ini ada juga di Arcamanik. Jadi lumayan sering diicip-icipi. Tapi kini jarak dan waktu telah memisahkan kita dan perlu dihadirkan kembali, fufufu.

Nah, mie kocok Bandung ini tahun lalu jadi menu berbagi malam takbiran dan lebaran. Kebetulan juga sejak kecil keluarga saya tidak pernah masak menu mainstream lebaran, euy, seperti ketupat, kari ayam, dan gulai (ini bukan, sih?). Jadi sejak menikah juga saya biasa masak yang tanpa santan seperti sop buntut, sop iga, coto (ada sih, ya, ini), lidah, dan kali ini mie kocok lengkap (tanpa kerupuk aci sayangnya). Berhubung anak-anak suka sekali ngebulet-buletin, maka mereka bisa dimanfaatkan, fufufu.

Alhamdulillah bahan mentah halal di Jepang tidak begitu sulit diperoleh secara online. Di sini banyak toko halal online Bangladesh yang menyediakan aneka jenis daging (walau dalam kemasan relatif besar).


Pertama mari bikin bakso sapi dengan bahan sebagai berikut:

400 gram daging sapi cincang

200 gram daging ayam cincang

1 telur ayam ukuran L (ini saya amaze sekali di sini. Ukuran telur ayam bisa seragam dari SS, S, M, dan L).

4 sdm garlic paste (supaya tidak pakai food processor dua kali atau nyuci blender, saya lebih senang pakai yang pasta dari pada bawang putih biasa – bilang aja males, ehehe)

1 sdt merica (suka yang masih coarse, bukan yang bubuk)

1 sdt garam

2 sdt kaldu sapi

1/2 sdt baking powder

5 sdm air dingin

3 sdm tepung sagu dan 2 sdm tepung tapioka

Caranya, campurkan semua daging cincang, telur, bawang putih, merica, garam, kaldu sapi, dan baking powder ke dalam food processor. Setelah tercampur, masukan air dingin (kalau bisa es malah). Terakhir setelah tercampur, tambahkan tepung dan food process kembali hingga tercampur sempurna. Jangan terlalu lama bila menginginkan tekstur bakso yang tidak terlalu halus. Oiya, di awal panaskan air dulu di panci. Jadi setelah mendidih, adonan bakso tinggal dibulat-bulatkan dan dicemplung. Diangkat ketika sudah mengapung, ya. Lalu air rebusan jangan dibuang. Tinggal ditambah gula-garam-merica untuk kaldu.

Bakso ini bakal nemenin mie kocok. Bisa juga mie ayam jamur. Atau anak-anak suka ditusuk-tusuk seperti sate dan digado. Kurang lebih resep untuk Mie Kocok Bandung sebagai berikut:

500 gram – 2 kg kikil sapi

4 lbr daun salam

2 cm lengkuas (memarkan)

2 cm jahe (memarkan)

1 sdt gula pasir

1 sdt kaldu sapi

1 sdt garam

Semua bahan di atas direbus dalam panci presto selama 35 menit (setelah bunyi, ya!). Sambil merebus, siapkan tumisan bumbu halus sebagai berikut:

6 butir bawang merah

4 butir (sdm) bawang putih (saya pakai garlic paste)

1/2 sdt merica yang masih kasar

2 butir kemiri (sangrai supaya keluar aromanya)

1 sdm ebi kering

Semua bahan bumbu di atas, di-food process atau di-blender. Lalu ditumis dengan minyak secukupnya hingga harum dan matang.

Setelah prestoan kikil matang, potong-potong sesuai selera. Masukan kembali ke panci bersama tumisan bumbu halus. Koreksi rasa. Tambahkan bawang seledri, perasan jeruk nipis (saya lemon punyanya), tambah rebusan tauge/ kecambah bisa juga (tergantung selera), dan bawang goreng serta kecap jika suka.

Air dan tulang kikilnya suka saya bagi dua buat simpanan kaldu kikil sapi kalau sewaktu-waktu mau bikin kuah kaldu lagi. Alhamdulillah kuahnya yang segar nikmat pas menemani kota Sendai yang “sejuk”-nya lama. Selain itu, tentunya bisa ditemani dengan bikin bakso tahu (atau tahu baxo, kalau kata suami) dan pangsit goreeeng. Dan, mending bikinnya sekalian banyak, bisa buat frozen food.

Semoga bermanfaat 🙂

Comments (2)

Memilih Pintu Bernama Jurusan

Bukan Jalan tol

Saya masih ingat dulu pas SMA, Dani, teman sekelas saya bilang kalau udah sekolah di SD dekat kantor walikota, lanjut SMP di jalan Sumatera, dan SMA di Belitung, pasti udah jalan tol buat masuk Ganesha. Jujur, itu kalimat dia sukses buat saya nggak percaya diri. Track jalan saya nggak lewat jalur tol yang sama seperti dia. Dan kalimat itu bikin saya ciut. Yup! Masuk sekolah seberang Pangdam itu membuat saya jungkir balik belajar setengah mati. Bahkan nilai NEM saya hanya beda nol koma sekian saja dari passing grade. Dan itu ternyata terulang kembali setiap kali ikutan tryout SMPB.

Masih inget sama tiket jalan tol zaman Pak Harto yang dulu masih warna-warni? Huff, ternyata tidak memberi wawasan yang warna-warni kala mengenakan seragam putih abu-abu dan menginjakkan kaki ke Belitung. Semua guru seperti berkomplot kalau lulusan sekolah ini harus, kalau nggak, pindahan ke ITB, ya, Kedokteran. Serius! Itu yang tertanam di kepala saya sejak harus menentukan masuk IPA atau IPS, atau dari pas masuk kelas 1 bahkan! Dimulai dengan dibukanya les matematika, fisika, dan kimia oleh guru-guru yang membuat saya meringis. Atuhlah. Dan saya yang belum pernah nge-les, terpaksa nyobain salah satunya karena nilai saya 4! Ahahaha. Mendadak merasa kerja keras saja tidak cukup di sini, Kakaaa! Apalagi buat yang pas-pasan gini. Saya yang dulu suka pelajaran eksakta, jadi ilfil. Udah mah bisa juga karena usaha keras bukan karena pinter bawaan, Bapak-Ibu guru juga seperti menyepelekan ketika salah seorang teman saya memilih IPS. Kenapa, sih?

Jadi apa alasan ikut pindahan?

Namanya Bu Budi. Kalau nggak ada beliau, saya yakin saya juga bakal pilih IPS (mengikuti jejak orang tua). Peduli banget sama cita-cita saya dulu pengen jadi dokter. Jujur, rasanya sekolah ini, kok, hanya menghargai anak IPA (curhaaat). Berkat beliau, saya tetap mencintai Biologi yang walaupun lagi-lagi dengan modal rata-rata karena suka, bukan bisa. Karena nyatanya nggak pernah jadi perwakilan IBO bahkan tingkat kelas pun, ehehehe. Dan cita-cita jadi dokter tetap saya pupuk tapi kemudian pupus karena tahu berapa banyak pundi-pundi yang harus dikeluarkan ibu saya nanti. Dan alasan lainnya, karena beliau nggak mengizinkan anaknya keluar kota Bandung. Iya, Jatinangor itu, kan bukan Bandung. Apalagi Salemba.

Fix. Maka pilihan saya hanya satu. Ganesha 10. Titik.

Lalu harus masuk jurusan apa? Jelas teknik adalah kosakata yang menyeramkan buat saya yang gagal CLBK sama matematika dan fisika dari SMP ke SMA. Apalagi bangun ruang saya jongkokkk. Nggak kebayang gimana harus mendesain dan merancang seisinya. Maka berbekal rasa sayang saya pada Bu Budi dan Biologi, saya pun mantap memilih.

Masih pindah lagi

Masih dengan rasa percaya diri yang rendah, ketika malam pengumuman lewat internet tiba, saya sholat dan berdoa dulu sebelum ke rumah Tante satu-satunya yang punya internet di rumah. Serius kalut, saya kembali mengingat kata-kata sahabat saya yang bilang, “Jangan terlalu bersedih hanya karena ini!” begitu hanya presentase 10% saja yang muncul saat menyamakan kunci jawaban di kertas SPMB dengan SSC (Iya, akhirnya saya ikut SSC begitu sadar diri dengan nilai tryout yang syalalala). Milih Jurusan 106 aja prosentase kesuksesannya hanya 10%! Gimana kalau teknik? Minus mungkin. Cried.

Tapi masya Allah, Allahu Akbar! Bener, ya, jalan hidup ini teh bukan karena kita bisa dan bekerja keras semata, tapi karena ada Allah yang memudahkan! Nomor ujian saya pun terkonfirmasi di serentetan panjang kelulusan di koran Pikiran Rakyat keesokan paginya.

Tapi bukan hidup kalau setelah mendapat apa yang dituju akan mulus begitu saja. Masuk TPB, saya ketemu lagi sama tiga mata pelajaran, eh kuliah yang sukses hanya dapat D! Whaiii!!! Dan ternyata saya kelimpungan belajar tentang hewan, ahaha. Serius saya punya fobia sama mereka.

Qodarullah, di akhir semester ada bukaan pindah jurusan ke Mikrobiologi. Apa bedanya sama Biologi? Di sana kita fokus sama yang mikro-mikro aja. Mulai dari bakteri, virus, jamur mikroskopis, dan protozoa, serta Archaea; yang dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, industri, dan lingkungan. Dan berdasarkan petuah dari Om dan Tante, yang bilang katanya mikroorganisme (saat itu) baru teridentifikasi 2%, maka insya Allah peluang yang terbuka ke depan akan lebih banyak. Maka tanpa ragu dan bimbang, saya ikutan tes dan alhamdulilah keterima.

Maka di sanalah saya mencintai bakteri dan virus sebagai makanan sehari-hari. Dan saya pikir saya akan bisa kembali ke jalur yang nyerempet ke Kedokteran. Tapi jalan yang berbeda ditawarkan oleh Allah. Apakah saya akan terus berjuang di bidang Mikrobiologi Kesehatan sambil ngambil kelas-kelas Farmasi atau coba yang lain. Karena ternyata, eh ternyata, saya hobi banget terinfeksi sampai thypus beberapa kali selama kuliah. Subhanallah.

Mata jadi Terbuka!

Awalnya sedih. Merasa kehilangan keminatan. Okelah nggak jadi dokter, bisa agak nyerempet. Tapi …. Masya Allah, saya dipertemukan dengan salah satu inspirasi, Bu Nur. Beliau yang membuka wawasan saya bahwa apa yang saya pelajari ini nggak kecil, kok. Memberi banyak pengaruh dalam ilmu pengetahuan. Dan Mikrobiologi adalah salah satu black box di balik kegiatan teknik berbau bioproses. Maka berbekal ilmu dan inspirasi dari beliau, di sinilah saya sekarang. Kecemplung di dunia Mikrobiologi Lingkungan dan Perminyakan. Mencoba menjadi salah satu puzzle dari suatu Big Picture.

Berkat beliau, saya jadi lebih percaya diri. Nggak begitu ingat lagi dengan guru SMA yang hanya bilang, “Oh,” ketika saya menjawab masuk Biologi dan alih-alih memberi selamat pada teman-teman saya yang masuk Teknik ABCDE. Saya juga jadi lebih terbuka dan positif bekerja sama dengan teman-teman engineer di kantor. Dan saya tercerahkan bahwa selain slogan “Knowledge is Power, but Character is More, – and Lucky is More than More,” but the Most Important is Syukur! Berdiam sebentar, bertafakur menyelami sejuta hikmah di balik jatuh bangun dan air mata menatap beberapa nilai D yang sampai saat ini masih mewarnai transkrip, membuat saya bersyukur kalau jalannya tidak sesakit ini, mungkin tidak akan menjadi pecut untuk terus berjuang hingga lulus Final Defense bulan lalu.

Maha Besar Allah yang memperkenalkan saya dengan banyak pintu-pintu pembelajaran dan belajar menyelami apa yang sudah diusahakan hingga saat ini. Tidak mungkin sampai pada titik ini (yang diawali dengan takut, sesal, dan bimbang) tanpa seizin Allah, doa, dan dukungan supporting system yang Allah kirimkan untuk saya. Alhamdulillah.

Terima kasih Mamah Gajah Ngeblog yang telah membuat saya kembali bersyukur dengan mengingat jalan yang terus diusahakan ini, melalui Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Maret. Semoga sharing ini bisa menjadi pengingat (saya kembali pada khususnya) bahwa sesulit apapun yang dihadapi di depan, akan terbuka jalannya, dan selalu ada hikmah di baliknya. Ikhtiar, tawakal, sabar, dan iklhas. (PR besar melangkah menuju hari esok). Dan hey, memilih pintu bernama jurusan itu nggak ada yang kurang atau lebih, kok. Setiap orang punya jalannya masing-masing 🙂

Comments (12)

Memulai Lembaran Baru

Memulai. Suatu kata kerja yang paling susah dilakukan. Apalagi kalau sudah kebayakan mikir duluan. Yang ada hanya keinginan, keinginan, dan keinginan tanpa aksi. Nggak konkrit katanya. Dan akhirnya terkubur lagi. Seperti halnya menulis sebagai salah satu tahapan kegiatan literasi yang susah susah nggak gampang (lho?). Untuk memulainya membutuhkan effort tersendiri buat saya.

Roller coaster menulis
Kalau diingat-ingat, pertama kali menulis blog ini tahun 2008 untuk mendokumentasikan kenangan dan mimpi yang ingin dicapai setelah lulus kuliah nanti. Lalu sempat vakum lamaaa sekali setelah memasuki masa jatuh bangun mengenal kembali diri sendiri yang belajar memegang amanah baru.

Lama nggak nulis, ternyata belakangan menemukan komunitas menulis. Jadi semangat lagi buat belajar menulis. Apalagi menjadi penulis novel adalah salah satu cita-cita saya, ehehe. Pernah aktif jadi redaktur di Aksara Salman ITB dan nulis buku, tidak membuat diri ini istiqomah nulis. Baru ikut beberapa kali kesempatan di ODOP dan IP dengan komunitas literasinya, sudah tidak bisa mengikuti teman-teman yang sudah berlari. Alasannya kesibukan ini dan itu.

Mungkin salah satu alasan lainnya adalah kehilangan tujuan dan rasa percaya diri. Lupa tujuan menulis itu apa dulu. Kenapa sekarang kalau mau menulis terbuka, takut-takut dinilai dan dikomentari orang. Takut riya, takut sombong, dan takut lainnya. Tapi ternyata ikut komunitas yang saling mendukung, membuat saya jadi terpecut lagi untuk nulis secara terbuka. Walau teuteeeup naik turun bak iman. Dan akhirnya vakum. Lagi.

Ayo, menulis lagi!
Salah seorang teman mengingatkan. Selain quote Pramoedya Ananta Toer yang terkenal, dia juga bilang, “Menulis itu self healing (kalau tidak di-judge orang, ehehe), menulis itu mengabadikan kenangan sehingga tidak mudah melupakan dan dilupakan, menulis itu berbagi, menulis itu menyampaikan kebenaran! Saya jadi tertohok. Teman saya pun lanjut berkata kala saya khawatir nulis keluar (di luar menulis untuk diri sendiri alias nge-diary), “Menulislah dulu. Jangan terlalu banyak berpikir. Pasti insya Allah bermanfaat!” Dan ternyata ketika mulai sharing kembali pengalaman hidup dan ada yang mengontak langsung, ada perasaan bahagia bahwa tulisan saya ternyata bermanfaat! Padahal hanya curhat semata.

Mungkin awalnya saya menulis hanya untuk diri sendiri dan anak-anak. Sudah cukup membuat mereka bahagia kesehariannya didokumentasikan di scrap book (yang dibikin kalau rajin). Tapi ternyata ketika effort untuk menulis (bukan nulis log book penelitian) dihargai, bisa jadi lebih bermakna dan jalan menebar manfaat, Insya Allah.

Dan gayung mendadak bersambut! Kini komunitas tercinta ITB Motherhood yang (lagi) jauh di mata tapi tentu selalu dekat di hati launching sub grup baru yaitu Mamah Gajah Ngeblog. Wah, bisa belajar lagi, nih! Saya mulanya bingung apa membekukan blog ini yang isinya lebih banyak curhatnya daripada berbagi ilmunya atau membuka blog baru supaya bisa memulai hidup baru yang lebih rapi. Tapi mungkin dari masa lalu saya juga bisa berlajar, berproses, dan mengevaluasi diri menjadi lebih baik dari yang lalu-lalu. Dan maka inilah tulisan pertama saya lagi di tahun 2021 menyambut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog.

Bismillah! Semoga dengan kembali kecemplung di komunitas menulis, saya bisa kembali memulai lembaran baru. Berani menulis, berani berbagi, luruskan niat, dan berhenti terkungkung dalam judge orang lain. Semoga bisa lebih positif, menebar hal positif, dan semoga istiqomah! Mohon bimbingannyaaa! [ ]

Comments (2)

Cerita di Masa New Normal di kota Sendai, Jepang

Lockdown!

Sambil menunggu pengujian di lab, saya kembali ke kubikel, tempat biasa saya menyelam bersama data-data atau sekedar membaca dan highlight sana-sini. Sedang asyik berselancar ke sana ke mari, tiba-tiba sebuah email dari sekolah Rafa masuk ke ponsel. Supaya lebih leluasa mengartikan beberapa huruf kanji, saya membuka email di komputer. Setelah copy paste ke halaman google translate, saya mengernyit beberapa kali. Memastikan kalimat asli dan mengartikan sesuai pemahaman saya, lalu membandingkan dengan arti yang diberikan oleh mesin penerjemah.

Ini serius?

Aku menyangsikan apa yang aku baca. Lalu tak lama, email lainnya masuk. Dari jidoukan (after school club anak-anak SD milik pemerintah) berita yang sama disampaikan. Kali ini lebih detail.

Ini beneran? Lagi-lagi saya bertanya dalam hati.

Tidak mau salah paham, akhirnya saya menelepon jidoukan – dan sekolah! Maklum minggu ini load kerjaan sedang full. Belum bisa membayangkan bagaimana jika sekolah dan jidoukan tiba-tiba harus tutup mulai akhir bulan Februari. Bahkan masih belum masuk libur akhir semester.

Berita diliburkannya anak sekolah di Hokkaido ternyata akan dilakukan juga di Sendai, mengikuti kasus virus Corona yang semakin meningkat. Setelah konfirmasi, ternyata, bagi yang kedua orang tuanya bekerja, anak-anak masih diizinkan datang ke sekolah dari pagi hingga jam 2 siang, kemudian dilanjutkan ke jidoukan. Tentunya harus membawa bento (bekal makan siang sendiri), bahkan buku dan mainan sendiri, dan mengikuti beberapa aturan baru seperti pemakaian masker. Aman, saya mengelus dada.

Keseharian berlangsung normal, walau info dari teman di Tokyo mulai membuat saya resah juga. Tentang rencana menutup kegiatan di kampus. Hm, semoga tidak terjadi di sini. Maksudnya, kota Sendai ini tidak terlalu padat. Bukan 10 kota besar di Jepang. Harusnya virus Corona yang mulai diberitakan sejak Desember lalu tidak akan begitu berdampak buat kota kecil.

Wah, tapi salah!

Tidak lama kemudian, setelah obor Olimpiade 2020 datang ke Sendai, muncul cluster pertama pasien Corona! Belum lagi karena ditambah kabar di kampus kami ada yang kontak dengan pasien positif, tiba-tiba suasana di lab menjadi mencekam. Sensei memberitahukan bahwa kampus akan memasang level siaga 3 yang artinya kegiatan berkumpul akan dihentikan! Salah satunya kegiatan di laboratorium!

Oh, tidaaak!!!

Saya yang sudah masuk tahun terakhir, tiba-tiba merasa lemas, juga egois. Bagaimana penelitan? Bagaimana data? Apakah saya tidak bisa lulus tepat waktu?

Berbagai pikiran berkecamuk. Sejak bulan Maret, kami semua dirumahkan. Sebelum masa tinggal di rumah, kami semua yang bekerja dengan bakteri diminta untuk mempersiapkan penyimpanan kultur bakteri, dan mempersiapkan kemungkinan penundaan rencana-rencana ke depan. Buat kami yang bekerja di lab basah, tidak nge-lab berarti tidak ada data. Tidak ada data berarti tidak ada yang ditulis. Tidak ada yang ditulis artinya …. saya tidak bisa membayangkan.

Kegiatan Diem di Rumah Aja

Mungkin maksimal lengkap berempat diam di rumah itu 3-4 hari. Itu pun memang direncanakan. Kali ini, tidak ada dalam rencana sama sekali. Tiga hari pertama, Rafa sudah minta ingin bermain ke jidoukan. Kami tidak mengizinkan, berusaha mengurangi kontak dengan orang lain. Tugas di rumah yang diberikan oleh sekolah juga tidak banyak. Terlebih ketika penutupan sekolah yang mendadak dan memang mendekati libur akhir semester di bulan Maret. Tidak lama bulan April pun datang. Yang harusnya sudah mulai tahun ajaran baru, anak-anak masih diam di rumah. Bagaimana tidak, kali ini kasus pasien positif bertambah. Pemerintah juga tentunya tidak akan mengambil resiko. Libur pun terus diperpanjang. Dan lama kelamaan, perpanjangan status siaga ini cukup membuat stress …. buat saya.

Kami, suami dan saya mencoba untuk menyusun kegiatan anak-anak. Beberapa minggu setelah diliburkan, orang tua murid satu persatu datang ke sekolah untuk mengambil buku pelajaran kelas yang baru, beserta tugas-tugas harian. Alhamdulillah, selain jadwal yang kami siapkan, kini ada jadwal harian dari sekolah. Tidak ada online, semua masih manual kertas.

IMG_E3110

Membaca bersama Yanda

Jadwal kegiatan sehari-hari pun kami tempel. Memang susah sekali menerapkan kedisiplinan jika di rumah, bagi kami. Ternyata dengan dibuatkan kegiatan terjadwal, anak-anak berusaha untuk mengikutinya. Sehari empat mata pelajaran yang isinya pelajaran bahasa Jepang seperti membaca dan mempelajari huruf kanji yang baru, matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan olahraga. Beberapa kegiatan bebas untuk membuat prakarya dan menonton NHK (televisi nasional Jepang) juga ada. Kami tambah kegiatan membaca buku bahasa Indonesia, mengaji, dan hapalan juz Amma. Tidak lupa menjadwalkan beberapa permainan board game agar tidak bosan.

Awalnya sulit. Karena kami semua terbiasa berkegiatan di luar rumah jam 9-17. Berbeda dengan suami yang penelitiannya lebih sosial dan bisa dikerjakan dengan membaca banyak literatur lalu merangkumnya, saya kehabisan ide untuk melakukan apa. Nyicil studi literatur sambil bergantian membersamai anak-anak bukan pilihan. Yang akhirnya selama beberapa minggu saya tidak pernah memegang laptop sama sekali. Bisa? Lama-lama harus bisa. Dan jadi bisa!

Muhasabah: Ramadhan yang berkesan

Hingga kemudian beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadhan, tiba-tiba saya teringat dengan doa yang saya tulis di Instagram tentang harapan bisa shaum bersama, setahun yang lalu[1]! Pasalnya tahun lalu saya sibuk mengejar data karena Juni akan mengikuti konferensi. Belum lagi Rafa harus lagi-lagi berpuasa saat persiapan sport festival atau undokai. Terucap seandainya bisa full Ramadhan di rumah, pasti akan berkesan buat anak-anak. Dan ternyata tahun ini terjadi! Kesampaian!

Nggak pernah terbayangkan kami sekeluarga akan sholat lima waktu plus tarawih yang semuanya berjamaah! Bukan selama sebulan saja, tapi dalam beberapa bulan ke depan yang belum tahu sampai kapan, karena pengumuman penambahan masa libur sekolah terus diperpanjang setiap waktunya.

Begitu pula kampus yang kemudian menaikan status siaga ke level 4 di awal tahun ajaran baru. Kini semua kegiatan dilakukan via daring. Untuk kami yang sudah tidak ada perkuliahan, seminar internal lab atau zemi menjadi wadah berkumpulnya lagi orang-orang satu lab. Di tambah seluruh acara PPI Sendai, Keluarga Mahasiswa Islam di Sendai, sampai liqo atau hanya sekadar silaturahmi jadi dilakukan online, daaan masya Allah yang kadang suka tidak ikut jadi selalu ikut! Dan itu refreshing!

IMG_3118

Bantu masukin kurma

Kegiatan Ramadhan online semakin semarak. Kami yang masih sangat jauh dalam membersamai anak mengaji atau hapalan jadi punya banyak waktu. Tidak ada buka bersama, kota Sendai semarak dengan berbagi bento berkah dengan chef yang saling berlomba-lomba dan berebut giliran. Supaya lebih berkesan, dengan protokol Corona tentunya, di akhir Ramadhan kami mengadakan takbir keliling naik mobil (rental). Pertama buat anak-anak! Daan … paling mungkin-nggak-akan-pernah-terjadi-deh adalah menyambut 1 Syawal dengan imam dan khatib suami sendiri, hehehe.

Masya Allah, di balik rasa kekhawatiran terkait diri yang egois dengan ketakutan tertunda kelulusan, ternyata study at home dan social distancing ini membuat kami bermuhasabah. Mengevaluasi diri. Tentang kerekatan antar kami berempat. Lebih benar-benar ada, lebih rekat lagi.

New Normal dan Kebiasaan Baru?

“Sudah sekolah atau masih SFH?”

Pertanyaan itu selalu ditanyakan teman-teman. Di kota Sendai di mana saya tinggal, di akhir bulan Mei, ketika sudah beberapa minggu tidak ada kasus pasien positif, akhirnya pemerintah mengizinkan untuk memulai kembali kegiatan di luar rumah.

Untuk anak pertama kami, pada masa percobaan, sekolah dibuka dengan sistem terjadwal di minggu terakhir Mei. Terjadwalnya luar biasa! Antar SD negeri yang berdekatan, di minggu percobaan jadwal masuknya selang-seling Jumat sebelumnya-Selasa-Kamis dan Senin-Rabu-Jumat. Grade 1-6 dan masing-masing kelasnya pun dibagi-bagi. Jadi inget zaman SD dulu ada kelas pagi, siang, dan sore!

Hingga akhirnya 1 Juni, mereka masuk dengan beberapa protokol yang sebenarnya juga sudah diterapkan. Yang menjadi perbedaan adalah penggunaan masker dan desinfektan, serta tempat duduk yang berjarak lebih jauh, serta laporan kesehatan yang harus disubmit ke sekolah dan jidoukan. Isinya: suhu tubuh, kondisi badan, apakah flu, batuk atau sakit tenggorokan, dan kondisi keluarga. Orang tua juga hanya menunggu di luar saat menjemput anak-anak di jidoukan. Untuk hoikuen (nursery school) tempat biasa anak ke-2 kami beraktivitas, orangtua tidak bisa masuk ke dalam kelas saat antar-jemput. Selebihnya, sama saja.

Sedangkan di kampus sendiri, sebelum jam 10 pagi, kami harus submit laporan kesehatan (kira-kira sama dengan anak SD, hehe), ruangan lab mana yang dipakai (juga diwajibkan reservasi ruangan karena dibatasi 2-3 orang saja dalam satu ruangan), bertemu dengan siapa saja, ke mana saja, dan rencana keesokan harinya. Penggunaan masker tentunya wajib.

Saya diskusi dengan suami dan teman-teman, jadi apa new normal-nya?

Mungkin karena Jepang sendiri sudah biasa bersih, jadi istilah new normal rasanya tidak ada. Pertama dengar tentang ini justru dari negara sendiri. Karena di sini terbiasa bersih itu, apa-apa bawa tisu, tisu basah, dan sapu tangan. Apa-apa semprot sanitizer sana-sini. Apa-apa cuci tangan. Apa-apa bawa my-hashi (sumpit-set & sendok-garpu sendiri). Apa-apa bawa bekal makan dan minum sendiri – yang nggak akan dipalakin. Semua serba menjaga diri sendiri demi orang lain. Kok, demi orang lain? Bukannya itu mah demi kamu aja sendiri?

Eh, jangan salah!

Melalui filosofi Jepang, “Hito ni meiwaku kakecau, dame![2]” kita jadi belajar tidak mengganggu orang lain. Kita nggak hidup sendirian. Ada orang lain di sekitar kita yang beririsan dengan kehidupan kita. Justru egois kalau kita tidak memikirkan orang lain. Contohnya, jika kit berbagi atau maksa minta (ups!) makanan dengan orang yang ternyata lagi sakit atau justru kita yang lagi sakit. Ketika terjadi penularan, itu akan terus merembet dan kena ke yang lain, lain, dan lain. Sama halnya dengan pemakaian masker yang benar! Tugas kita mudah, memutus rantai!

Pernah saya baca ada yang tidak setuju dengan istilah “New Normal”. Katanya harusnya memang normalnya ya seperti itu. Beradab. Adab terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun tentunya tidak semudah itu menerapkan sesuatu yang mungkin akan sulit jika tidak dibiasakan.

Kadang kami berpikir, apa harus sampai begini dulu untuk membuat orang sadar? Semoga dalam keadaan yang tidak pasti ini, kita bisa lebih waspada dan peka untuk melindungi bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang lain. [ ]


Ditulis untuk kegiatan Nulis Bareng Juli 2020
Rumah Belajar Literasi Ibu Profesional Asia

[1] https://www.instagram.com/p/ByRfk9_hpL_/?utm_source=ig_web_copy_link

[2] Itu akan mengganggu orang lain. Jangan!

Leave a Comment

The Mighty Bacteria!

Kalau ditanya penelitiannya tentang apa, jujur saya tidak pernah pede menjawab. Penelitian doktoral saya ini tidak jauh berbeda dengan sarjana saya yang sudah lebih dari 12 tahun lalu. Ketika didorong untuk melanjutkan sekolah lagi, rasanya cukup sulit karena penelitian saat sarjana, master dan di kantor, topiknya berbeda-beda. Tapi yang pasti tema besarnya adalah bakteri dan lingkungan!

Yup, bakteri. Siapa sangka makhluk yang sama halusnya dengan makhluk halus ini punya banyak potensi yang luar binasa. Mereka bisa hidup dari lokasi yang dingin banget, sampai panas banget. Di dalam bumi, sampai luar angkasa. Di tempat yang manusia pada belum tentu bisa hidup. Tempat yang ekstrim istilahnya!

Saat mengerjakan penelitian tentang bakteri yang bisa bantu produksi minyak bumi karena minyak mentah banyak yang terperangkap di bebatuan di dalam dasar bumi (istilahnya Microbial Enhanced Oil Recovery), saya kagum banget dan ingin fokus di sana. Tapi lalu harga minyak turun dan EOR mulai menurun permintaanya. Kini zamannya EBT alias energi baru dan terbarukan.

Daaan, bakteri juga punya andil juga di EBT itu! Kalau mau diceritakan akan panjang sekali. Banyak jenisnya mulai dari biogas, biometana, bioethanol, biodiesel, biohidrogen, dan lainnya. Sumbernya apa sampai bisa dapat produk itu? Ini juga panjang. Katanya sekarang sudah sampai generasi ke-4, yang sedang menggadang-gadang alga. Mulanya dari biomass, lanjut menggunakan waste alias limbah, dan modifikasi genetika.

Bakteri (teknologi biologi) sebagai salah satu cara pencapaian EBT selain secara kimia dan fisika, menghadapi tantangan tersendiri karena berhadapan dengan makhluk hidup. Berbeda dengan teknologi secara kimia dan fisika, metode biologis lebih banyak butuh optimasi karena seperti halnya manusia yang moody-an, kecepatan bekerjanya pun perlu disesuaikan sesuai permintaan. Kalau nggak pas, maka hasil pekerjaannya akan tidak optimal.

Di sini ilmu lain berperan seperti molekular dan genetika yang mencoba mencari tahu kenapa sih begini, kenapa sih begitu di level molekuler. Professor saya pernah berkata, kalau kita tidak tahu dasarnya ilmu, maka akan susah diaplikasikan. Walau pada kenyataannya ilmu sains yang susah diaplikasikan di lapangan, hehe. Namun saya kembali belajar. Bahwa ilmu sains dan aplikasi harus seiiringan agar membawa manfaat.

Setidaknya, untuk bersyukur bahwa di balik yang kecil-kecil ini ada sesuatu yang lebih besar.

Leave a Comment

Wawancara beasiswa, mandiri, dan luar negeri (Jepang)

Tulisan ini ditulisan sebagai bahan evaluasi diri sendiri, bukan untuk menilai siapapun. Karena setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda 🙂

—————————————————————————————————————————————-

“Kenapa nggak sekolah di Indonesia saja? Lebih mudah.”
Pertanyaan itu dilayangkan oleh semua orang mulai dari reviewer beasiswa, kantor, dan tentunya keluarga.
“Iya, kalau di Indonesia, kan, mudah. Banyak yang bantu,” lanjut salah seorang reviewer.

Padahal di Indonesia, menurut versi kami adalah jauh lebih “rempong”. Kami jauh dari semua saudara. Hidup hanya bertiga saja, tidak pernah ada campur tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Bukan sombong tidak mau pakai pembantu atau yang lebih kece dikenal dengan sebutan ART (Asisten Rumah Tangga) sekarang ini. Tapi karena trauma masa kecil dulu, keluarga besar kami terbiasa tidak ada pembantu, hingga punya keluarga kecil sendiri pun demikian. Belum lagi suami yang pekerjaannya bolak-balik ke lapangan. Menurut versi kami, jika saya melanjutkan sekolah di Indonesia akan tidak mudah.

Memutuskan untuk bekerja setelah vakum 3 tahun di rumah, kami memperkenalkan Rafa dengan yang namanya daycare atau tempat penitipan anak. Alhamdulillah lokasi kerja saya yang berada di Puspiptek Serpong memiliki daycare. Sehingga setiap pagi, saya bisa membawanya ke kantor sebentar untuk absen (dan terkadang sarapan yang belum tuntas demi absen pagi) lalu menjemputnya lagi jam 4. Jarak dari rumah ke kantor dan daycare pun hanya 15 menit. Daycare di mana Oma memberi banyak pendidikan usia dini ini merupakan salah satu supporting system saya untuk bisa bekerja kembali. Dan terus begitu hingga adik Rafa juga turut serta masuk daycare di usianya yang masih 2 bulan.

Ketika saya harus ikut kegiatan di luar Serpong, supporting system nomor satu sayalah yang selalu mem-back up urusan dalam dan luar rumah. Kalau ditanya bisa tidak suami menceboki anak usia 3 tahun ketika saya harus dinas 3 hari, conference di luar negeri selama 7 hari, mengikuti Persiapan Keberangkatan 10 hari atau bahkan Prajab CNPS selama 1 bulan di Ciawi; jawabannya bisa! Bahkan yang pertama kali mengganti popok dan menceboki Rafa saat lahir itu bukan saya, tapi suami. Yandanya anak-anak. Supporting system kami nomor satu.

Tapi apakah saya, kami, akan tetap waras jika harus sekolah, mengulang adaptasi lagi dari nol jika harus pindah ke kota di mana salah satu perguruan tinggi berada? Ingat, ini sekolah pakai uang negara pula. Apalagi jika suami harus ke lapangan selama sebulan. Dan saat itu anak kami sudah dua.

 

Melangkah lebih jauh

Ya, ketika mengikuti seleksi beasiswa LPDP, saya tengah hamil 4 bulan. Semakin menguji kesabaran dan berlatih mempertahankan argumen saat reviewer, terutama psikolog, yang mendorong saya untuk tidak sekolah di luar negeri. Saat itu, saya meyakinkan mereka bahwa saya mampu sekolah di luar negeri, Jerman, walaupun membawa anak-anak. Seperti pengalaman seorang teman, Ira, yang sekolah di Jerman bersama anaknya.

Bahkan sebelum meyakinkan mereka, saya perlu diyakinkan oleh suami bahwa saya bisa mengambil jalan ini. Karena sejujurnya saya pun ragu apakah saya bisa.

Dan di sinilah saya sekarang. Bukan di Jerman. Belum. Melainkan di Jepang. Pernyataan reviewer, “Di luar negeri lebih susah dan keras,” alhamdulillah sudah terjalani selama 2 tahun ini dan justru saya ingin menjawab bahwa sekolah di luar negeri dengan membawa anak-anak itu lebih mudah daripada di Indonesia. Terutama pada kondisi keluarga kami, saya jadi tidak LDR lagi.

 

Kemudahan di Jepang

Di Jepang, semua sudah tertata dengan sistem yang teratur. Ketika saya mendaftarkan kami sekeluarga di kantor kecamatan (Kuyakusho), saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak untuk memperoleh children allowance di mana setiap bulan, kami menerima bantuan keuangan untuk kedua anak-anak. Selain itu, di luar kartu asuransi di mana setiap orang hanya membayar 30% biaya kesehatan, anak-anak juga memperoleh kartu kesehatan gratis! Dan saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak di daycare pemerintah (hoikuen) juga langsung di sana. One stop place to register all.

Perihal transportasi di sini pun lebih mampu mempertahankan kewarasan kami. Ketika saya diarahkan untuk sekolah di Indonesia, saya langsung membayangkan bagaimana transportasi dari rumah-daycare-kampus, yang mungkin menghisap kebahagian seperti dementor, eh, bisa menghabiskan waktu di jalan. Dan sampai di rumah, jika ada tugas, saya masih harus membagi antara anak-anak dan pekerjaan rumah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana saya menjambak-jambak rambut  jika harus memasak, melipat tumpukan jemuran, membuat tugas dan mengisi quality time dengan anak-anak dengan waktu yang keburu habis duluan.

Di sini, kembali pada masing-masing orang, saya bisa menerapkan rutinitas kantor bahwa ke kampus adalah dari jam 9 sampai jam 5. Tidak jauh berbeda dengan ngantor jam 8-4. Gunakan waktu seefisien mungkin seperti ngantor. Juga ingat komitmen awal untuk tidak membawa pekerjaan kantor/ kampus ke rumah kecuali urgent. Dan menurut kami, semua itu bisa terfasilitasi karena waktu tidak habis di jalan.

Jadi ketika reviewer bertanya lagi, “Kamu yakin mau sekolah di luar?” Dengan mantap saat itu saya katakan sambil tersenyum bahwa saya siap karena di Indonesia pun kami sudah biasa hidup sendiri – dan mandiri.

Stigma “Kalau kuliah di luar negeri, saya bisa jadi lebih mandiri” karena di Indonesia itu mudah – dan jadi susah mandiri, menurut saya niatan itu bisa dieksekusi di negeri sendiri. Justru kemandirian harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.

—————————————————————————————————————————————

Tulisan ini ditulis mewakili para supermom yang menjadi inspirasi saya. Bukan saya.

Flashback:
Sendai, tahun ke-3 di bulan April.

Leave a Comment

(Anakku) Sekolah di Jepang (1)

Kali ini, saya ingin berbagi mengenai sekolah di Jepang usia SD 🙂

Tidak perlu daftar sekolah!

Sekolah di sini maksudnya adalah sekolah dasar alias SD. Karena TK di sini adalah swasta, maka statusnya tidak wajib. Dan TK tidak mengenal sistem zonasi. Untuk mendaftar TK sendiri, pendaftaran dibuka tanggal 1 Oktober dan pengembalian formulir biasanya 1 bulan setelahnya. Lengkapnya akan dibahas kemudian.

Kok, tidak perlu daftar sekolah?
Yup, karena semua sistem sudah terintegrasi, tidak ada seorang anak pun yang tidak memperoleh haknya untuk tidak sekolah.

Nah, jika datang di bulan April atau Oktober dan saat itu sudah masuk usia SD (6 tahun per 1 April), maka dilakukan prosedur yang sama seperti tulisan di sini, yaitu lapor diri ke kantor kecamatan dan dinas pendidikan. Namun jika di Jepang sudah lebih awal dan baru saja akan masuk usia SD, maka di sekitar bulan Oktober-November akan mendapat surat pemberitahuan bahwa anak kita masuk ke SD di zona tertentu. Di bulan berikutnya, akan mendapat panggilan lagi untuk tes kesehatan dan penjelasan lainnya di bulan Februari.

Tes kesehatan meliputi mengisi dokumen kesehatan anak (riwayat imunisasi, alergi, dan hal lain yang perlu diketahui sekolah), tes mata, tes pendengaran dan beberapa hal yang saya coba ingat-ingat kemudian.

Jadi tidak perlu takut anak tidak bisa sekolah. Malah diundang buat sekolah, lho!

Pulang sekolah, anakku harus ke mana?

IMG_4058

Salah satu dilema teman-teman yang belum mau membawa anaknya ke sini adalah sebuah pertanyaan, “Pulang sekolah, anakku gimana?”. Saya justru pertama tau dari teman-teman di Daycare Puspiptek dulu bahwa di Jepang ada semacam tempat penitipan khusus anak SD.

Jadi setelah mendapat panggilan sekolah, bulan Desember adalah bulan pendaftaran Jidoukan. Apa itu Jidoukan? Ini after school club-nya anak SD. Biasanya letaknya pas di sebelah SD-nya, atau di lingkungan perumahan.

Di SD Kunimi, Sendai, tempat anak-anak sekolah, ada 3 pilihan tempat mereka pulang setelah sekolah. 1. Kunimi Jidoukan, 2. Kaigamori Jidoukan, dan 3. Cocoro. No 1 dan 2 milik pemerintah. Jadi syaratnya sekali lagi untuk fasilitas milik pemerintah adalah sama seperti daftar Hoikuen, yakni kedua orang tua harus bekerja.

Bagaimana cara daftarnya?

Sebenarnya waktu pendaftaran adalah setiap bulan Desember. Namun ada kalanya di tengah jalan ada yang membutuhkan dan kebetulan ada yang pindah (di Jepang, sering sekali orang dipindahkan lokasi kerjanya, jadi sering sekali teman sekolah anak pindahan juga). Nah, pertama, telepon atau datanglah ke Jidoukan yang diinginkan untuk membuat janji. Jika ada tempat kosong, mereka akan menginformasikan kapan bisa mengambil formulir dan diterangkan bagaimana cara mengisinya.

Ada 3 bundle dokumen yang harus diisi. Bundle pertama adalah yang di-submit ke bank buat daftar autodebet biaya Jidoukan. Ke-2 adalah yang di-submit ke Jidoukan. Isinya banyak ada 5 kira-kira. Tentang data orang tua, anak, kesehatan anak, questioner, dan surat persetujuan. Dan yang ke-3 adalah permohonan keringanan biaya baik biaya Jidoukan maupun biaya ekstensi waktu untuk di-submit ke Dinas Pendidikan.

Jika semua persyaratan telah terpenuhi, maka pihak Jidoukan selanjutnya akan mengirimkan surat pemberitahuan penerimaan. Di surat juga terdapat beberapa isian dan apa saja yang harus dibawa saat briefing.

Baru saja Jumat, 13 September lalu menjadi translator untuk orang tua dan kedua teman baru Rafa yang akan masuk Kunimi Jidoukan. Kami di-briefing peraturan apa saja yang harus ditaati, baik saat musim sekolah dan liburan, jam pulang sendiri dan dijemput, makanan apa saja yang boleh, buku penghubung (Renrakucho) dan lain sebagainya.

Lengkapnya menyusul 🙂

 

 

Comments (1)

Registrasi Kedatangan Keluarga (Anak) di Jepang

Lokasi: Aoba-ku, Sendai-shi, Miyagi-ken, Jepang 🙂
Mungkin yang lokasinya berbeda, kurang lebih syaratnya sama. Semoga bermanfaat 🙂

Setelah tahun lalu membantu teman-teman yang istri dan anaknya pada nyusul, alhamdulillah semester kemarin, saya diamanahi untuk menjadi tutor. Setelah tahun pertama saya di sini dibantu teman, tahun kedua mulai gantian membantu, saya pikir, bagusnya semua didokumentasikan agar dapat dimanfaatkan dikemudian hari dan berharap bisa ditulis dalam bahasa Inggris suatu saat nanti. Tulisan kali ini adalah mengenai mendaftarkan keluarga yang baru datang melalui sistem COE atau Certificate of Elgibility – dan tentunya berlaku untuk yang datang langsung dengan keluarga seperti tulisan saya di sini.

Lapor diri

Ketika keluarga akhirnya tiba, sebaiknya keesokan harinya langsung lapor diri untuk registrasi. Terutama hal ini penting untuk memperoleh asuransi kesehatan! Anak-anak di bawah 6 tahun dapat memperoleh gratis berobat, sedangkan anak-anak pada usia sekolah (usia 6 tahun per 1 April) hanya bayar 500 Yen, serta dapat mengajukan children allowance. Dan bagi pasangan tentunya penting karena biaya berobat tanpa asuransi kesehatan itu luar biasa MAHAL! Jika ada, hanya 30% saja. Selain itu, penting untuk mendaftarkan sekolah bagi anak-anak, baik yang usia SD maupun yang lebih kecil.

Kebetulan kedua teman saya punya anak usia sekolah SD dan usia di bawah 6 tahun, yang artinya harus daftar tempat penitipan anak (Hoikuen).

Berikut tahapan-tahapannya:

1. Persiapkan dokumen berikut (sejak dari Indonesia)

  1. Bukti hubungan dengan suami/istri dan anak. Translate buku nikah, akte lahir dan kartu keluarga ke dalam Bahasa Jepang.
  2. Bawa rekam jejak imunisasi/ vaksinasi anak yang sudah dirapikan dalam satu dokumen dan ditandatangani dokter.
  3. Passport yang bersangkutan
  4. Residence card (Zairyuu ka-do) yang bersangkutan yang diperoleh di bandara (atau dikirim ke rumah, jika tidak turun di bandara besar seperti di Sendai). Jika datang dengan visa turis, proses berganti jenis visa bisa dilihat di sini.
  5. Buku rekening tabungan (bisa JP atau 77)
  6. Dokumen gaji selama setahun di Indonesia berupa surat keterangan bekerja yang menyertakan jumlah gaji pertahun dan lampiran gaji bulanan selama setahun.

2. Datang ke Kuyakusho sesuai alamat domisili. Kami berangkat pagi-pagi ke Aoba-kuyakusho. Pertama, datanglah ke loket untuk Non-Japanese. Di sana sebenarnya sudah ada contoh dalam Bahasa Inggris jadi tidak begitu sulit. Ada 3 dokumen yang harus diisi yaitu:

  1. Dokumen registrasi penambahan anggota keluarga (rangkap 3),
  2. Dokumen permohonan dibuatkan asuransi kesehatan pemerintah (Hokensho)
  3. Dokumen permohonan dibuatkan surat keterangan tempat tinggal (Juuminhyou)

 

3. Setelah diisi semua, (biasanya sudah ada petugas yang membantu), ambil antrian untuk memperoleh nomor urut. Ketika dipanggil, sang peregistrasi akan diminta menunjukkan: zairyuu card, hokensho, dan my number (kartu pajak). Dan tentunya beserta kelengkapan di atas.

4. Pembuatan hokensho dan juminhyo untuk anggota keluarga kita akan memakan waktu kira-kira 1-2 jam, tergantung jumlah orang yang diregistrasikan. Oleh karena itu, sambil menunggu nomor pengambilan di lantai 1 loket 5 nanti, maka kita bisa melakukan hal yang lain. Karena yang diregistrasikan adalah anak-anak, maka akan diperoleh surat pengantar untuk mengurus hal-hal sebagai berikut:

  1. Lantai 6 loket 1 : jika peregistrasi sudah tinggal setahun sebelumnya, dapat mengurus surat tax exemption (hikazei shoumeisho) di sini. Surat ini dapat digunakan untuk mengajukan keringan biaya-biaya (yang akan dijelaskan kemudian), salah satunya syarat memperoleh children allowance, keringanan: biaya sekolah, biaya hoikuen, biaya jidoukan, biaya air, dan lain sebagainya.
  2. Lantai 5 loket 3 : mengganti status hokensho kita yang asalnya single menjadi keluarga. Nanti akan dikirimkan segepok asuransi kesehatan yang harus dibayarkan setiap bulannya dalam 10 bulan. Dengan ini, apabila kita sakit, cukup membayar 30% dari biaya sebenarnya.
  3. Lantai 3 loket 4 (paling ujung) : mengurus permohonan children allowance. Ada kurang lebih 3 halaman dokumen dan surat pernyataan yang harus diisi menyatakan jumlah pemasukan yang bisa ditunjukan dengan hikazei shoumeisho dari lantai 6 tadi atau jika belum tinggal setahun, menggunakan dokumen gaji. Jika memenuhi persyaratan, maka anak usia 0-3 tahun akan memperoleh 15,000 Yen setiap bulan, sedangkan di atas 3 tahun memperoleh 10.000 Yen (hingga usia SMP). Jumlah uang ini akan diakumulasikan dalam 4 bulan. Sehingga akan diperoleh 3x dalam setahun ke dalam rekening yang kita daftarkan.
  4. Lantai 3 loket 2 : mengurus buku ibu dan anak (boshitechou). Bagi yang memiliki anak di bawah 6 tahun, maka diwajibkan memiliki buku ini. Di sini kita akan ditanya vaksinasi apa saja yang sudah diperoleh di negara asal (dengan menunjukan dokumen rekam imunisasi). Kemudian mereka akan memberikan kupon vaksinasi gratis dari jenis vaksinasi yang belum diperoleh. Mereka juga akan menjelaskan bahwa pada usia 6 bulan, 1.5, 2.5, 3.5 tahun akan dilaksanakan pemeriksaan kesehatan anak.
  5. Lantai 3 loket 1:
    Nah, ini loket paling lama, hihihi. Untuk mengurus hoikuen.
    Sebelumnya saya jelaskan bahwa usia kelas itu dihitung per 1 April. Jadi kalau anaknya lahir 2 April, maka dia terhitung masih 0 tahun, ketika yang lahir 1 April 1 tahun, hehe.
    Kelas dibagi usia 2 bulan – 12 bulan, 13 bulan – 2 tahun, 2-3, 3-4, 4-5, dan 5-6. Jadi ada 6 kelas terpisah.
    Berbeda dengan yang ingin mendaftarkan anaknya ke TK (Youchien) tidak perlu ke sini karena bersifat swasta sehingga langsung daftar ke sekolah, bukan ke Kuyakusho.

    Di sini kita akan mendapatkan penjelasan mengenai 4 jenis tempat penitipan anak yang dikelola oleh pemerintah, yang seperti disebut-sebut di atas sebagai Hoikuen. 1). Hoikuen besar yang isinya usia 0-6, 2). Hoikuen kecil yang isinya usia 0-3 tahun (jadi nanti saat 4 tahun harus pindah), 3). Hoikuen yang bekerja sama dengan yoichien (usia 4-6) dan 4). Mama hoikuen di mana seorang mama bersertifikasi memang maksimal 5 anak. 

    Selain itu, mereka akan menjelaskan banyak dokumen yang harus diisi dan dilampirkan dengan bukti. Syarat utama yang wajib diketahui adalah: anak yang didaftarkan di hoikuen, kedua orang tuanya harus bekerja/ bersekolah, dibuktikan dengan certificate enrollment alias gakusei shoumeisho. Detail dokumen bisa ditanyakan langsung pada saya. Isiannya seputar pertanyaan tentang anak dan orang tua.Pendaftaran tanggal 1-15 adalah untuk tanggal 1 bulan berikutnya. Dan 16-31 adalah untuk tanggal 16 bulan berikutnya. Sistemnya adalah memilih mau daftar ke mana (tidak zonasi) sesuai yang dimau, mengurutkan pilihan ke mana saja sebanyak-banyaknya (saya dulu 12, karena daftar bulan Juli/ Agustus bukan pada bulan April) dan waiting list jika penuh.

    Jika butuh sekali, ada tempat penitipan anak harian namun swasta. Harus daftar langsung ke sana.

    Bagaimana biayanya?
    Biaya disesuaikan dengan jumlah pemasukan. Pada umumnya mahasiswa dengan sumber beasiswa akan membayar 0 Yen. Detailnya akan saya bahas terpisah.

Untuk Anak Usia SD

Selesai ke semua loket di atas, eits, tunggu dulu! Jika punya anak usia SD (1 SD adalah anak usia 6 tahun per 1 April), mari kita ke gedung Dinas Pendididkan alias Gakujika di sebelah Aoba Kuyakusho. Jangan lupa nengok layar panggil di depan lantai 1 loket 5 jika hokensho dan juminhyou sudah bisa diambil. Jika sudah, untuk juminhyou dikenakan biaya 300 Yen per permintaan. Kok, perpermintaan? Jadi baik minta keterangan tempat tinggal buat diri sendiri maupun dengan anggota keluarganya, misal 4 orang, bayarnya sama 300 Yen.

Sekarang ke Gakujika. Di sini kita pergi ke lantai 11. Ruangannya pas yang depan lift. Di sini, kita cukup mendaftarkan alamat rumah kita di mana dan anak kita usia berapa. Nah, karena sekolah sudah merata, maka sistem zonasi di sini sudah diterapkan. Jadi kita nggak bisa pilih-pilih sekolah. Beberapa hari sebelumnya, saya menceritakan kedatangan calon murid baru ke sekolah, sehingga ketika staf di sini bertanya, kita bisa menyampaikan bahwa sudah memberi informasi ke sekolah. Setelahnya, kita akan dibekali surat penerimaan sekolah (shugaku tsuchisho) dari Gakujika dan di sekolah mana kita ditempatkan, serta tanggal berapa pertama kali masuk.

Demikian tulisan lapor diri bagi anak-anak kita. Insya Allah perihal terkait tulisan ini akan menyambung di kemudian hari. Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika ada pertanyaan, bisa langsung menguhubungi saya 🙂

Comments (2)

Dewangga 4#

Dimitri, Gi-san dan aku sedang membahas dan menertawakan kebodohan kami memesan pizza tadi malam yang malah berakhir dijadikan sarapan juga karena ukurannya yang luar biasa di luar perkiraan. Hingga seseorang tiba-tiba hadir di antara pembicaraan kami bertiga.

“Dimitri?”
“Dewangga?”
Hi! Long time no see!”

Tawaku terhenti. Jemariku yang hendak menyelipkan anak rambut ke belakang telinga pun terhenti sesaat. Perlahan kukepalkan dan kuturunkan tanganku dari tepi telinga kanan saat dia mengunci pandangannya, walau hanya sesaat, pada yang melingkar di jari manisku.

Dua orang yang saling berangkulan, tertawa-tawa saling memuji penampilan satu sama lain yang entah sudah berapa lama tidak bertemu.

Aku menarik tanganku ke belakang tas ransel. Mencoba melepaskan cincin yang entah sudah berapa lama melingkar di jemariku. Sejak dia memberikannya padaku. Mungkin tiga tahun yang lalu. Duh, tapi sia-sia saja. Selama ini juga tidak pernah dilepas.

“Sa, this is Dewangga. We were in the same hostel room in Germany,” kata Dimitri menyadari Dewangga dan aku saling bertatapan.

Oh, mereka bertemu beberapa bulan lalu saat Dimitri conference.

“Hi, Sa!” Dewangga akhirnya menghadap ke arahku. Mengulurkan tangan kanannya. Tapi tidak aku gubris.

You know each other?” tanya Dimitri. Menengok kami berdua bergantian.

Well,” Dewangga hendak menjawab.

Tapi aku langsung memotongnya, “Sorry, I need to go to the toilet,” Dan meninggakan Dewangga, Dimitri dan Gi-san.

Dewangga Bumantara. Aku mengetikan namanya yang mengintimidasi itu di aplikasi conference yang akan aku ikuti selama seminggu ini. Serangkaian jadwal kegiatan lengkap terprogram di dalam aplikasi. Salah satunya adalah siapa-siapa saja yang turut serta menjadi pembicara di dalamnya.

Bukan, ini bukan tentang masa lalu yang ada di antara kami. Tapi memang namanya sendiri sudah mengintimdasi. Dewa, dewangga dan angkasa. Sesuatu yang besar, indah dan hanya untuk dikagumi.

Kenapa bisa bertemu di sini setelah sekian lama aku berhasil bersembunyi? Walau dia orang yang selalu melindungiku.

Leave a Comment

Ramadhan Pertama Aa di Sendai

Kata teman-teman yang pada sekolah di luar negeri, Ramadhan yang jatuh di musim panas di belahan bumi utara terasa sangat lama. Kalau di Indonesia (dan negara lain yang terletak di khatulistiwa) konstan kurang lebih 13,5 jam, di utara bisa sampai ada yang 22 jam! Apalagi kalau negara-negara Skandinavia atau Kutub Utara sana! Nggak kebayang. Di kota Sendai, yang letaknya ada di utara pulau Honshu, Ramadhan tahun lalu kurang lebih 16,5 jam. Tidak terlalu berbeda dengan Indonesia. Tapi yang spesial dari tahun 2018 lalu adalah Ramadhan pertama Aa di kelas 1 SD.

Shaum pertamanya belum sahur jam 2 subuh. Masih sarapan pagi seperti biasa. Tapi setelah itu dia tidak makan dan tidak minum. Bagaimana di sekolah? Bagaimana di jidoukan (daycare usia SD/ after school club)?

Alhamdulillah, seperti pernah dibahas di tulisan sebelumnya, SD Kunimi Sendai adalah salah dua SD yang memiliki banyak siswa internasional. Ketika jam makan siang tiba, yang biasanya Aa (jika giliran) piket mengambil stroller makanan dan membagikannya kepada teman-teman, dia dan teman-teman muslim lainnya akan berkumpul di ruang kelas international (Kokusai Shitsu). Di sini mereka akan shalat berjamaah dan bermain bersama-sama. Dan ternyata, kata Shutaro Sensei mereka tetap juga bercakap-cakap dengan bahasa Jepang, dududu.

Pulang sekolah, di buku penghubung orang tua dan jidoukan, saya biasa menulis jika Aa terlihat lapar atau lelah, dipersilakan menawari minum. Tapi kata Sensei-nya, Aa selalu menolak. Selain itu, tahun lalu, alhamdulillah masih ada Bunda Aira yang mengizinkan Aa belajar bersama di apartemennya setiap dua hari seminggu (kadang lebih, huhu maaf merepotkan). Jadi lebih semangat puasa. Apalagi dengan adanya TPA saat Ramadhan, membuat anak-anak berlomba-lomba. Walau ya mungkin tidak pernah saling ngejekin ‘Kamu udah batal, siah, ya! Batal batal!’ 😀

Untuk menyemangati ibadah shaum dan lainnya, kami membuat “Papan Bintang Pencapaian”. Alhamdulillah sekarang mah sudah banyak, ya, lembar aktivitas ibadah untuk anak-anak dan lembar kegiatan anak-anak Ramadhan. Tahun lalu kami bikin list-nya sendiri dari berbagai referensi, salah satunya dari FamiliaKreativa-nya Teh Devi-Kak Yan yang kece beserta bukunya yang kami import, hihi. Juga terinspirasi dari salah seorang teman yang menggunakan amplop-amplop kecil dengan tugas tambahan di setiap hari. Dan tentunya berbagai referensi dari berbagai negara.

55500

Cara mainnya mudah. Jika mengerjakan amalan tertulis di papan, maka tinggal menempelkan bintang. Warna dan ukuran bintangnya berbeda-beda, di mana poinnya juga berbeda. Tugas harian tambahan dalam amplop (yang lebih pada kegiatan muamalah), juga memiliki nilai bintang tersendiri. Tapi jelas paling besar bintangnya adalah shalat dan shaum.

Saat itu, kami berjanji jika Aa mendapat poin 200 bintang, maka akan dibelikan sepeda. Setahun lamanya di sini, kami belum membelikan kendaraan kesayangannya selama di Indonesia. Jadi Aa pasti semangat banget. Nggak perlu sering-sering ke Kotsu Koen (Taman Lalu Lintas) untuk main sepeda, hihi. Dan beberapa kesepakatan lainnya agar menjadi penyemangat.

Suatu hari Aa bercerita, “Bu, kemarin Aa bilang ke Ichika-kun kalau Islam itu seru. Ada bulan kita nggak usah makan. Dapat pahala dan hadiah. Terus dia bilang asyik sekali.” 😀 alhamdulillah Aa tidak malu dan bangga dengan apa yang dilakukannya. Saya kadang khawatir dengan dirinya yang berbeda di kelas.

48344Salah satu hal yang membuat kami bangga juga keinginannya yang kuat untuk tidak minum ketika pelajaran olahraga. Katanya dia masih kuat. Padahal itu musim panas. Musim panas di Jepang itu panasnya terik dan lengket. Dan ternyataaa, festival olahraga (Undokai SD) itu masya Allah bertepatan dengan Ramadhan! Delapan jempol dari Ibu dan Yanda buat Aa. Gurunya sampai memastikan apa tidak apa-apa? Karena ada 3 lomba yang diikutsertakan. Tapi Aa keukeuh mau mencoba, walau pada akhirnya berbuka.

Semangatnya untuk shaum pertama kali di musim panas dan saat festival olahraga adalah salah satu hal yang membuat saya terharu. Sambil berteriak ‘Ganbareee!’ saya rada mewek terhura, hihi. Semoga Allah memudahkan Ramdhan tahun ini. Karena sudah kelas 2, jam pulang sekolah lebih panjang.

Dan teruntuk anak-anak yang tinggal di negara minoritas muslim, tetap semangat! Tetap berani menunjukan jati diri Islam! Dan untuk para keluarga, berikanlah dukungan terbaik dari segi apapun. Sandang pangan papan, eh, makanan bergizi yang lebih lama tersimpan di dalam tubuh seperti protein, sayur dan buah ketimbang gorengan misalnya. Kasih semangat terus, apalagi bagi anak-anak yang baru mulai. Kalau di Indonesia biasa dikasih amplop Rp 1000/ hari shaum misalnya, kreatiflah lagi 😀 Dan catatan buat kami para ibu di luar rumah, semoga dimampukan selalu mem-bersama-i anak-anak dengan kegiatan yang tidak kalah kreatif dan berkualitas. Doa yang kencang tentu nomor SATU.

Selamat menyambut dan mengisi bulan Ramadhan 🙂

___________________________________________________________________________________________

Ditulis di tengah-tengah eksperimen.
Sendai, April 2019
Untuk berperan serta dalam Rumah Belajar Literasi Ibu Profesional Asia

Leave a Comment

Tantangan Belajar Shalat

Cup!
Si Ganteng tiba-tiba mencium singkat pipiku saat aku masih riweuh mengganti popok dan baju Adik.
“Bu, Aa berangkat sekarang! Ittekimaaasu!*
Assalamualaikum-nya mana?” saya berseru.
Assalamualaikum!”

Jam 8.15 pagi, apalagi sebelumnya, adalah waktu paling hectic di apato kami. Dimulai dari bangun tidur, ke toilet, wudhu, shalat, lalu terjadi sedikit perselisihan apakah boleh tidur lagi setelah shalat subuh atau boleh nonton TV sambil nunggu ibu masak atau sekadar menghangatkan masakan hasil batch cooking weekend kemarin, lalu merapikan tempat tidur hingga akhirnya makan, ganti baju, dan gosok gigi. 

Selama tinggal di sini, selama hari kerja mulai dari jam 8.30 kira-kira kami semua sudah beraktivitas di luar apato*. Suami atau saya mengantar Adik dulu ke Hoikuen* lalu berangkat ke kampus. Jam 6 sore (bisa lebih awal atau lebih lambat, bergantung pada eksperimen di lab) anak-anak kami jemput kembali. Selama melanjutkan studi, waktu kebersamaan alias quality time yang hanya 2 jam di pagi hari, 4 jam di malam hari, dan weekend; atau saat kabur insidental demi liburan bersama, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kami untuk mengisinya.

Alhamdulillah selama kami diberi amanah melanjutkan studi, mendapat kesempatan pula mengikuti kelas online dari Institut Ibu Profesional (IIP) melalui materi-materi kece di kelas Bunda Sayang yang didahului dengan matrikulasi. Benar-benar membantu kami tetap dalam jalur pengasuhan yang baik, insya Allah. Terlebih, ada PeeR besar bagi kami untuk tetap menjaga aqidah dan ibadah anak-anak di negara minoritas ini.

Tantangan dan Komunitas

“Wahai, Rafa, anakku. Kini usiamu ketujuh. Ada pesan dari Nabi. ‘Tuk disampaikan padamu. Sayang … sayang … Nabi berpesan padamu. Sayang … sayang … shalatlah yang lima waktu.” (Cuplikan lagu dari film Syamil dan Dodo).

Tahun lalu, menginjak usianya yang ke-7, mulai menjaga shalat menjadi tantangan bagi Aa Rafa dan tentunya kami sebagai orang tua. Ketika berusia di bawahnya, kami mengajari shalat dengan memberi contoh (saja). Melaksanakan shalat berjamaah dengan mengeraskan semua bacaan shalat, masih memberi pilihan mau ikut shalat berjamaah atau tidak, memberi reward bintang yang bisa ditukar dengan hadiah (rezeki anak sholeh) di akhir bulan; merupakan salah satu cara kami mengajari shalat. Kini metode itu pun masih terus dilakukan, tapi tetap saja kami merasa kurang. Karena Aa hanya bisa shalat berjamaah dengan kami di waktu Subuh, Maghrib, dan Isya. Ketika jam sekolah?

Salah satu hal yang membuat saya bersyukur tinggal di sini, ibu-ibu kurang lebih satu visi dalam membimbing anak. Sepulang sekolah, di luar libur musim dingin, ada Taman Pendidikan Al-Quran yang dibimbing oleh teman-teman yang memiliki amanah di rumah. Sangat terbantu sekali menjaga pelajaran keislaman, IQRO, dan hapalan Aa. Selain itu, ada pula komunitas online Forum Silaturahmi Muslimah yang memberi pelajaran Tahsin untuknya. Saya jadi benar-benar merasakan bahwa “It takes a village to rise children” itu benar adanya. Selain keluarga sebagai fondasi, komunitas adalah hal yang penting bagi anak-anak.

Shalat berjamaah di Kotsu Kouen (Taman Lalu Lintas)

Untuk shalat, sebenarnya masya Allah di SD Kunimi Sendai sini memberikan waktu dan ruangan untuk melaksanakan shalat, atau bahkan berganti baju olahraga. Alhamdulillah tahun ini anak-anak Indonesia akan berada di semua jenjang yang berbeda mulai dari SD kelas 1 hingga kelas 6, masing-masing satu murid. Mereka yang di atas 10 tahun sudah bisa mandiri shalat. Tapi memang yang berusia di bawahnya, masih belum. Dan kami masih terus sounding berusaha memupuk rasa percaya diri Aa untuk mandiri shalat di sekolah.

“Aku maunya kalau sama-sama,” pernah Aa berujar demikian. Dia ingin shalat kalau di sekolah ada temannya. Kami paham.   

Doa dan Harapan dalam Menjawab Tantangan

Usianya kini bukan lagi di bawah 7 tahun yang menurut teori parenting masih ada di posisi yang masih kecil di mana yang berkembang otak kanannya. Kini memasuki usia hati-hati dan waspada di mana selain keluarga menjadi contoh, namun juga mulai memberi banyak pelajaran berharga dalam kemandirian yang akan bermanfaat bagi masa depannya. Terdengar berat. Namun teringat banyak materi parenting salah satunya dari IIP yang menjadi rutinitas sebelum tidur, yang juga kami terapkan untuk menyemangatinya terus, yaitu dengan bedtime stories. Salah satu sarana untuk memperkuat jati dirinya sebagai seorang muslim melalui membaca buku atau dongeng sebelum tidur.

img-1052-1

Gazebo umum di Matsushima, Jepang

Selain itu, kami juga sering menyengajakan jalan-jalan setiap akhir pekan. Minimal dalam sebulan harus ada jalan-jalan. Selain untuk refreshing dan bermain sambil bertafakur dan belajar banyak nilai-nilai dari lingkungan sekitar, suami juga mengenalkan pada Aa bahwa shalat bisa di mana saja. Tidak perlu malu dengan jati dirimu!

Saya teringat dengan banyak ucapan dari orang lain, “Enak, ya, tinggal di luar negeri. Enak, ya, sering jalan-jalan terus,” dan enak lainnya. Betul saya merasakan selama dua tahun ini mendapat banyak enak kemudahan dalam membesarkan anak. Kebiasaan baik, yang seandainya bisa disebut akhlak, lebih banyak dipelajari Aa Rafa dari lingkungan sekitarnya. Hal-hal kecil seperti memberi salam, menjaga kebersihan, mengatur waktu, kemandirian, dan lainnya yang bukan hanya teori doang, tapi teraplikasikan dalam hidup. Seperti prinsip ibu Jepang untuk tidak mengganggu orang lain dan menghargai orang lain. Namun ….

Namun sebagai muslim, bukan hanya itu. Aqidah nomor satu. Di situ tantangan nomor satu kami dalam mempersiapkan anak laki-laki yang mungkin akan akil baligh di sini. Di situ tantangan nomor satu kami untuk membimbingnya menjaga shalatnya, menjaga ibadahnya, menjaga apa yang dimakannya. Di situ tantangan kami untuk mendidiknya menjadi seorang muslim, seorang pemimpin. Bukan hanya di rumah, tapi di mana pun dia berada.

Bahwa sesungguhnya setiap keluarga punya tantangan sendiri dalam memelihara, mendidik, dan mengasuh keluarganya. Bahwa sesungguhnya mengasuh sebuah keluarga adalah suatu peran yang sangaaat penting. Dan semoga, di mana pun bukan hanya di negara minoritas, baik di negara mayoritas sekalipun, kita sebagai orang tua dimampukan untuk memberi bekal terbaik bagi anak-anak dalam menjaga aqidah dan ibadahnya. Hingga kelak ketika dia ber-“Ittekimaaasu!”, dia sudah bisa dilepas sebagai duta keluarga.


*Ittekimaaasu : saya berangkat
*Apato : apartemen
*Hoikuen : daycare, sekolah untuk anak usia di bawah SD

Jumat, Sendai, 19 Januari 2019
Ditulis untuk Sayembara Menulis IP Asia 2019: Ibu Profesional Nurturing Family
Rumah Belajar Literasi, Ibu Profesional Asia

Comments (2)

Wisata Naik Kereta Murmer

Agustus 2018 lalu adalah liburan musim panas pertama kakak. Kalau di Indonesia, sekolahan libur panjangnya pas libur semester, di sini kira-kira ketika puncak musim panas. Memang cuma buat anak sekolah doang, buat emak bapaknya nggak, huhuhu. Tapi tenang, bisa diatur dan yang penting pekerjaan di lab sudah tuntas.

Nah, di Jepang ini ada tiket kereta murah meriah kalau lagi libur musim panas. Selain musim panas, ada juga buat musim semi dan musim dingin. Nama tiket kereta murah ini adalah seishun 18kippu (dibaca: seishun juhachi kippu) atau juhachi kippu saja. Harganya 11.850 Yen untuk 1 paket yaitu 5 tiket di mana dapat digunakan oleh seorang dalam lima hari, atau lima orang dalam satu hari, atau bisa dipecah-pecah sesuai kebutuhan. Misal kami bertiga (berempat plus adik yang masih gratis karena belum SD) beli 2 paket dipakai pulang pergi yang artinya dari 10 tiket, habis dipakai 6 tiket. Sisanya 4 tiket lagi bagaimana? Bisa dijual kepada orang lain, atau dipakai pada perjalanan berikutnya pada tenggang masa tertulis.

Kenapa disebut murmer?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa tiket kereta ini hanya untuk pemakaian kereta biasa. Kalau di Indonesia mah KRL. Bukan kereta limited ekspres, kereta wisata, apalagi kereta shinkansen! Tapi jangan khawatir, lho, karena kereta yang bisa dipakai ada dari utara Jepang sampai selatan Jepang. Dilayani oleh Japan Railway alias JR, semua rute pasti dilewati. Memang jatuhnya akan lamaaaaa sekali. Tapi kalau dinikmati mah pasti menyenangkan dan tidak terasa.

Seperti ini contoh perbandingannya. Jika naik shinkansen, dari kota kami berada di Sendai hingga ke Tokyo hanya dibutuhkan waktu 2,5 jam; bahkan bila naik shinkansen hikari yang tercepat hanya 1,5 jam saja karena tidak berhenti-berhenti di kota besar; namun harganya kurang lebih 12.000 Yen. Kemudian jika naik bis, dengan biaya 4.000-6.000 Yen, dibutuhkan waktu 5-6 jam saja. Nah, kalau pakai kereta JR yang ngeteng berganti kereta di berbagai kota karena jalurnya nggak lurus seperti jalur shinkansen, maka dibutuhkan waktu 9 jam!

IMG_9227.JPG

Ikon Hirosaki

Buat kami yang suka berpetualang naik kereta lewat desa-desa dan melihat pemandangan serta mencoba berbagai jenis kereta, ini seru banget! Alhamdulillah akhirnya setelah merancang rencana, kami kesampaian juga mencoba tiket ini. Kami memutuskan untuk berpetualang ke provinsi paling utara pulau Honshu yaitu Aomori! Sedikit lagi menuju Hokkaido.

Paling mudah memang liburan di taman. Di mana-mana hampir di setiap sudut ada saja taman bermain. Taman kota besar dengan permainan yang kece pun, tidak sulit ditemukan. Sekiranya sudah empat taman kota yang masih belum bosan juga dikunjungi kakak dan adik karena ada permainan ninja wariornya, hihihi. Selain itu juga main di sungai adalah salah satu tempat favorit. Sambil pasang tenda di pinggir sungai, ibu bawa kompor portable, ngampar pakai tiker plastik beli di Daiso 100 Yen saja; sudah bikin anak-anak bahagia banget. Museum juga sudah terjelajahi. Mungkin hampir semua tempat kece di kota Sendai sudah habis dijelajahi satu tahun kemarin. Maka kini kami mencanangkan, “Mari bertualang lebih jauh! Jreng jreng!”

Rezeki banget dari Allah, rencana kami yang ingin ke Aomori saat Nebuta Matsuri terkabulkan! Sensei (guru) teman yang baik hati menawarkan sebuah kamar di rumahnya untuk dijadikan homestay selama 3 hari saat kami berpetualang ke sekitar Aomori! Nebuta Matsuri ini adalah festival yang sangat terkenal di Tohoku, atau mungkin di Jepang. Guru Bahasa Jepang ibu bilang, kalau ke Jepang, sekali saja setidaknya tontonlah Nebuta Matsuri. Apalagi di Aomori banyak tempat wisata.

Akhirnya hari itu pun tiba. Karena kakak lagi keranjingan naik sepeda ke mana-mana, akhirnya kami putuskan naik sepeda ke Sendai Station. Sebelum berangkat kami briefing anak-anak dulu. Bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Kurang lebih akan memakan waktu 10 jam, lebih jauh dari ke Tokyo.

Wah, lama bangedz, Bu! Yoi! Oleh karena itu, untuk perjalanan panjang ini kami sama-sama mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa. Kira-kira sebagai berikut:

IMG_9425.JPG


Di Warasse Museum

  1. Bekal! Biasanya orang Jepang menyebutnya bento. Kami biasa bawa nasi kepal alias onigiri yang diisi macam-macam. Bawa berbagai jenis gorengan dalam plastik, pokoknya makanan yang tidak gampang basi. Berikutnya adalah cemilan! Pokoknya makanan kudu musti nomor 1 dipersiapkan soalnya bakalan tantangan buat cari makanan halal di lokasi baru.
  2. Baju. Hahaha. Ini cerita paling bodor. Jadi qodarullah perkiraan cuaca saat kami masih di Sendai berubah dengan cuaca ketika kita sampai karena ada badai di selatan saat itu. Jadi yang seharusnya musim panas itu panas bin hareudang karena Aomori di tepi laut, tahunya malah dingiiin! (Asli lebih dingin dibandingkan musim gugur saat ini). Bahkan teman yang tinggal di sana pun kaget dengan perubahan ini. Alhamdulillah tapi karena ada teman bisa pinjam jaket untuk anak-anak.
  3. Buku! Ini buat anak-anak saya penting pisan karena mereka jurig buku pisan.
  4. Nah, karena sudah ancang-ancang perjalanan 10 jam, maka ibu meminjam nintendo dari teman, hahaha. In case mereka bosan. Selain itu tentulah mainan robot-robotan kakak dan si keluarga anpanman punya adik.

Hal lain yang perlu dibriefing-kan kepada anak-anak, terutama kakak yang sudah besar adalah waktu transfer. Kadang ada yang waktu transfernya lama sekitar setengah jam, ada juga yang hanya sebentar. Waktu itu kami kalau tidak salah ada satu stasiun yang waktu transfer kereta hanya 10 menit saja. Jadi setelah turun dari kereta, harus segera lari-lari pindah ke jalur kereta lain yang kudu nyebrang jembatan dulu. Seru pisan! Nah, masya Allah-nya di Jepang ini, detail jadwal itu bisa dilihat di website hyperdia. Asli nggak ada telat 1 menit pun. Sangat akurat.

IMG_9442.JPG

Bercanda di kereta

Perjalanan 10 jam memang terlihat sangat lama. Apalagi setelah tiga hari berpetualang di Aomori mulai dari Hirosaki sampai ke Asamushi. Tapi kereta dari Aomori ke daerah Akita, lalu sebelum ke daerah Iwate, melewati pedesaan dan jenis kursi keretanya adalah yang saling berhadapan, jadi mereka suka duduk ngampar di antara bangku, hahaha. Kalaupun kursinya tipe KRL Jakarta, karena kereta jalur pedesaan, penumpangnya sedikiiit sekali. Sehingga anak-anak bisa berlarian di sepanjang gerbong kereta. Seru-seruan saat memasuki terowongan. Nyanyi-nyanyi sambil makan – di mana ibu dan yanda yang kudu nyapu remahan yang jatuh, hahaha. Pokoknya alhamdulillah selama 10 jam itu dibawa senang. Memang ada saatnya ketika jam pulang kerja dari kota Morioka ke Sendai, penuh sekali dan anak-anak sudah habis energinya dan menjadi rewel. Tapi alhamdulillah setelah ketiduran dan tiba kembali di Sendai, mereka bahagia lagi bahkan kakak masih semangat gowes pulang ke rumah.

Memang 18kippu ini tidak ada children fare. Makanya ketika akan menggunakan, bandingkan terlebih dahulu harga biasa untuk anak dengan 18kippu yang hitungannya perorang adalah 2.370 Yen dalam sehari.

Alhamdulillah dengan budget terbatas kami bisa wisata naik kereta ke utara Jepang. Walau sejak saat itu kakak jadi nggak mau makan onigiri dari konbini lagi (secara yang aman hanya onigiri salmon, hahaha). Insya Allah kalau liburan panjang lagi mau berpetualang ke selatan pakai 18kippu lagi. Selamat berlibur!

Mengingat kembali Agustus 2018,
Oktober 2018

Comments (1)

Media Edukasi Fitrah Seksualitas

Hari ke-5. Materi ke-3. Giliran mba Arlini dan saya sendiri untuk presentasi kali ini. Tema yang kami angkat adalah “Media Edukasi Fitrah Seksualitas”.

Berlatar dari pornografi dan pornoaksi pada anak-anak, suatu lembaga non-profit bernama SEMAI 2045 hadir. SEMAI 2045 itu apa ya?

Tahun 2045 nanti adalah 100 tahun Indonesia merdeka. Tapi merdeka itu apa sih?
Sebuah lembaga non profit yang didirikan oleh Teh Elma Fitriani dan kini diketuai oleh suami Teh Indri (Inday) inimengajak kita untuk melakukan pengasuhan yang baik, benar & menyenangkan. Berlatar dari permasalahan anak-anak yang terjadi terutama dalam hal pornografi dan pornoaksi, maka lembaga ini mengajak kita semua untuk menjadi pahlawan/ HERO bagi anak-anak kita. Mulai dari diri kita!
Gimana caranya? Salah satu yang dikenalkan dari SEMAI adalah lagu “Ini Tubuhku” dan “Sentuhan” (link menyusul). Selain itu tim SEMAI juga share beberapa media seperti untuk menggambar dan buku bacaan. Semuanya lengkap di website semai2045.org.

Memanfaatkan media yang ada di rumah, suami dan saya membuat game yang diadaptasi dari beberapa board game seperti ular tangga, 5pilar, board game boboiboy dan lainnya. Kemudian menyisipkan majic card dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi kali ini.

Berikut cara bermainnya:

1 ular tangga. Menggunakan dadu. Letakan tulisan majic card pada beberapa kotak. Jika dapat menjawab, boleh bermain lagi satu putaran. Jika tidak, diam di tempat.
2 ular tangga tanpa ular dan tangga. Tanpa dadu. Setiap kotak ada pertanyaan. Jika benar, maju 1 langkah; salah, mundur 1 langkah.

Ataaauuu untuk anak lebih besar, seperti kartu boboiboy berikut: Pada kartu pertanyaan, tulisan jika benar, kamu maju 3 langkah dan mendapat pahala 1; jika salah, kamu mundur 1 langkah dan tidak mendapat apa2. Bilang tidak tau atau tidak mau menerima tantangan, diam di tempat. Pemenang adalah yang sampai lbh awal atau pahala paling banyak.

Mengajarkan matematika, mengambil keputusan & strategi juga selain belajar materi.

Well, edukasi tidak harus selalu serius, tapi bisa menyenangkan sambil bermain dengan anak. Selamatkan gEnerasi EMas IndonesIA!

Leave a Comment

Kekerasan Seksual pada Anak-anak

Hari ke-4. Materi ke-2 disampaikan oleh mba Angie, mba Dede & mba Indri. Temanya tentang kekerasan seksual pada anak-anak.

Mengangakat kisah seorang teman yang mengalami hal dengan tema ini, maka menanamkan pendidikan mengenai fitrah seksualitas merupakan informasi penting yang perlu didapatkan oleh anak. Sebagai bagian dari pola asuh yang baik, orang tua perlu terlibat dalam pendidikan anak, termasuk memberikan pemahaman dan berdiskusi secara terbuka dengan Si Kecil tentang fitrah seksual pada anak.

Anak perlu memahami dan mengenali tubuhnya sejak dini. Selain untuk menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya, upaya itu juga untuk melindungi anak dari kejahatan seksual. Jika dilakukan dengan tepat, pendidikan fitrah seksualitas ini justru akan memperluas pemahaman dan menjadi dasar anak untuk mengambil keputusan seputar seksualitas di masa yang akan datang. Dan ketika ternyata (inalillahi) sudah mengetahui bahwa anak telah menjadi korban pelecehan/kekerasan seksual, maka orang tua harus bisa mengontrol diri supaya anak tidak semakin terpuruk. Berikut beberapa cara menyikapi pelecehan seksual pada anak:

– *Ajak anak untuk berbicara*

Bila melihat anak dalam kondisi tertekan, ajak anak untuk berbicara. Biasanya anak akan bercerita untuk melihat reaksi orang tua terhadap kejadian yang mereka alami. Ketika anak sudah mulai bercerita, usahakan untuk tetap tenang dan dengarkanlah dengan cermat. Jangan menyalahkan atau menyela perkataan anak, sebab hal ini dapat mencegah anak untuk bercerita lebih lanjut.

– *Berikan waktu*

Tidak semua anak dapat menceritakan kejadian buruk ini dalam waktu yang cepat. Jika anak belum siap untuk bercerita, berikanlah anak waktu agar ia dapat menenangkan diri dan tunggulah sampai anak siap untuk bercerita.
– *Berikan dukungan*

Dukungan dapat Anda berikan dengan memercayai seluruh perkataan anak dan yakinkan mereka bahwa apa yang terjadi bukan kesalahan mereka. Jelaskan bahwa menceritakan kejadian itu kepada Anda merupakan tindakan yang tepat.

Pelecehan/kekerasan seksual pada anak adalah tindakan yang melanggar hukum. Jika mencurigai anak menjadi korban pelecehan seksual, orangtua bisa meminta bantuan dokter atau konselor untuk menelusuri lebih lanjut kondisi anak. Jika anak terindikasi kuat mengalami pelecehan seksual, orangtua perlu melaporkan kejadian tersebut kepada pihak terkait, seperti kepolisian dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk mendapatkan penanganan secara hukum. Itulah peran kita sebagai masyarakat agar tindak kejahatan ini bisa semakin ditekan penurunan nya. Dan terakhir, WASPADA.. WASPADA..

Leave a Comment

Mengenalkan pendidikan seks pada anak di negeri minoritas muslim

#GameLevel11
#Tantangan10Hari
#KuliahBunsayIIP
#BundaSayang
#IbuProfesional
#FitrahSeksualitas
Hari ke-3. Masih dengan materi yang disampaikan oleh mba Gita dan mba Anggie yang super lengkap! Kali ini tentang mengenalkan pendidikan seks pada anak di negeri minoritas muslim. Pas banget! Kebetulan mba Gita dan saya sedang tinggal di Jepang saat ini. Berikut pemaparan dari presenter pertama Kelas Bunsay Batch 3 LN ini:
Berbagi cerita tentang kakak yang sekolah di SD Kunimi (Kunimi Shougakko), Aoba-ku, Sendai-shi, Miyagi-ken (lengkap!). Alhamdulillah sekolah ini sangat menghargai keberagaman. Salah satunya karena sekolah ini ada di zona dormitori internasional! Selain dari adanya guru internasional dan makanan halal (ingin menulis tentang ini suatu hari nanti), sekolah ini juga menghargai penggunaan jilbab bagi siswa perempuan.
Ketika waktu berganti baju olahraga dan pelajaran berenang, siswa diizinkan berganti terpisah di ruang kesehatan (tempat pada shalat juga ini – atau di ruang internasional) sehingga tidak bercampur. Pakaian olahraga yang ada 2 jenis, pendek dan panjang, juga diperbolehkan memilih. Misal musim panas pada pakai yang pendek, anak-anak muslim dan yang pengen atau alergi, bebas memakai yang panjang.
Di sekolah juga kasus bully (ijime) sekecil apapun walaupun verbal dan apalagi yang menyangkut harassment ya, pasti langsung ditindak.
Masya Allah, bersyukur sekali kakak bisa berada di sekolah yang sangat menghargai keberagaman dan menganut nilai-nilai kebaikan di tengah negara minoritas muslim.

Leave a Comment

Pendidikan seks dalam Perspektif Islam

#GameLevel11
#Tantangan10Hari
#KuliahBunsayIIP
#BundaSayang
#IbuProfesional
#FitrahSeksualitas
Hari ke-2. Masih membahas pemaparan yang disampaikan mba Gita dan mba Anggie kemarin, selanjutnya adalah mengenai pendidikan seks dalam perspektif Islam.
Lengkap sekali materi yang disampaikan! Saya tidak tambahkan apa-apa untuk materi ini karena sudah ciamik 😀 Semoga bisa disampaikan dengan bahasa yang kece pada anak-anak. Bismillaaah!

Leave a Comment

Mengenalkan Fitrah Seksualitas Pada Anak

#GameLevel11
#Tantangan10Hari
#KuliahBunsayIIP
#BundaSayang
#IbuProfesional
#FitrahSeksualitas

Hari ke-1. Masya Allah tema dan tantangan kali ini sungguh menantang. Apalagi buat kami pada anggota Bunsay Batch 3 Luar Negeri yang tinggal di negeri minoritas. Berikut saya langsung tulis saja apa yang sudah disampaikan oleh mba Gita dan mba Anggie yang kece sebagai presenter pertama dalam tantangan ini.

   

Tahapan Mendidik Fitrah Seksualitas

Usia 0 -2 tahun: Dekatkan anak dengan ibunya. Pada usia 0-2 tahun, anak masih menyusu pada ibunya. Menyusui adalah pondasi penguatan konsepsi semua fitrah.

Usia 3-6 tahun: Pada tahapan ini penguatan konsepsi gender dengan penggambaran positif gender masing-masing. Anak laki-laki dan perempuan harus didekatkan dengan kedua orang tuanya. Indikator pada tahapan ini adalah anak dapat menyebutkan dengan jelas dan bangga dengan gendernya di usia tiga tahun.

Usia 7-10 tahun: Penyadaran potensi gender dengan aktivitas yang relevan dan beragam sesuai gendernya. Ayah mengajak anak laki-laki berperan dan beraktivitas sebagai laki-laki di kehidupan sosialnya. Termasuk menjelaskan tentang mimpi basah, fungsi sperma, dll. Ibu mengajak anak perempuan beraktivitas sebagai perempuan di kehidupan sosialnya. Dijelaskan tentang menstruasi, dll. Indikator pada tahap ini, anak laki-laki mengagumi ayahnya dan anak perempuan mengagumi ibunya.

Usia 11-14 tahun (pre aqil baligh): Tahap pengujian eksistensi melalui ujian di kehidupan nyata. Anak laki-laki didekatkan dengan ibunya dan memahami cara pandang perempuan (ibunya). Anak perempuan didekatkan dengan ayahnya dan memahami cara pandang laki-laki (ayahnya). Indikator pada tahapan ini adalah persiapan dan keinginan menjadi ayah bagi anak laki-laki dan menjadi ibu bagi anak perempuan.

Usia 15 tahun (aqil baligh): Penyempurnaan fitrah seksualitas sehingga berperan keayahbundaan. Pada tahapan ini anak sudah dibebani beban syariah, dan berubah stastusnya menjadi mitra orang tua. Anak sudah siap berperan sebagai ayah dan bunda sejati.

Bersambung 🙂

Leave a Comment

Main rumah-rumahan

Hari ke-10. Apato kami alhamdulillah cukup luas dengan 3 kamar tidur. Setiap kamar, seperti apato Jepang pada umumnya memiliki kloset besar. Biasanya tempat nyimpen baju dan lain-lain di lantai atas, dan di lantai bawah untuk tempat futon dan perlengkapannya. Kebayangkah kloset ini? Seperti tempat tidur Doraemon di dalam lemari itu, lho!

Nah, anak-anak juga suka pisan main di dalam kloset sambil mendongeng sendiri seolah-olah menjadi tokoh buatan mereka. Entah kenapa lagi suka sama jenis-jenis obake anak-anak teh. Obake itu bahasa Jepangnya hantu. Pasti tau macam jenis hantu lucu Jepang kalau baca komik, anime atau seangkatan baca buku “Hantu di Sekolah” zaman SD dulu (saya tua mungkin, haha). Nah, kurang lebih begitu.

Jadi bukan sembarang main rumah-rumahan. Tapi kakak bikin latar dan narasinya sendiri sesuai apa yang ada di kepalanya. 

Luar biasa lihat anak-anak mengarang cerita sendiri begitu, hihi.

Leave a Comment

Ksatria Air

Hari ke-9. Jadi inget dulu ada buku dari kantor tentang menghemat air. Saya lupa tepatnya. Tapi seperti ini kira-kira hasil reka ulang kakak dan ibu.

Suatu hari tokoh Adi lagi nyuci sepeda, tapi airnya selalu lupa dimatikan, bahkan sampai dia selesai bermain sepeda bersama teman. Ketika pulang, jalanan sepi, banyak orang yang pingsan di jalan. Ternyata begitu pula dengan ibu, ayah, dan kucingnya. 

Tiba-tiba dari selang air yang dipakai tadi pagi, ada setetes air menetes dan berubah menjadi seorang ksatria air. Si ksatria minta tolong buat nyelamatin negerinya yang ternyata tempat asal mula air bersih berada.

Dari sini dimulai petualangan Adi dan ksatria air. Ternyata di negeri air ada raja yang jahat yang di mana sumber kekuatannya berasal dari air yang terbuang. Nah, dari kekuatan itu, dia memperoleh kekuatan lain untuk mengubah kolam air yang dialirkan ke bumi menjadi tercemar. Ksatria air tidak punya kekuatan ketika terserah air tercemar. Maka Adi dengan keyakinan yang kuat untuk mencegah tercemarnya air, mampu mengalahkan si raja air kotor. 

Akhirnya tentu hepi ending. Dan Adi, ketika pulang ke bumi lagi, tidak mau buang-buang air (yang akan mengalir ke negeri air kotor). 

Hehe, demikian. Latar ceritanya bagus. Keingetan tadi saat kami sedang beberes.

Leave a Comment

Origami

Hari ke-8. Kebiasaan beberapa malam membersamai anak-anak belakangan ini adalah membuat origami sambil ceceritaan. Kakak yang sudah lebih terampil bisa bercerita lebih banyak. Adik tidak mau kalah.


Seperti pada foto di atas, anak-anak berimajinasi sendiri tentang guguk, ikan dan strawberry cake. Dan jangan salah, mereka berdua saling berbalas ceritanya ceritanya pakai bahasa Jepang 😁 biarlah mereka relaks di malam hari dengan imajinasinya masing-masing.

Leave a Comment

Older Posts »