Posts Tagged #PhDMom

Wawancara beasiswa, mandiri, dan luar negeri (Jepang)

Tulisan ini ditulisan sebagai bahan evaluasi diri sendiri, bukan untuk menilai siapapun. Karena setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda šŸ™‚

—————————————————————————————————————————————-

ā€œKenapa nggak sekolah di Indonesia saja? Lebih mudah.ā€
Pertanyaan itu dilayangkan oleh semua orang mulai dari reviewer beasiswa, kantor, dan tentunya keluarga.
ā€œIya, kalau di Indonesia, kan, mudah. Banyak yang bantu,ā€ lanjut salah seorang reviewer.

Padahal di Indonesia, menurut versi kami adalah jauh lebih ā€œrempongā€. Kami jauh dari semua saudara. Hidup hanya bertiga saja, tidak pernah ada campur tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Bukan sombong tidak mau pakai pembantu atau yang lebih kece dikenal dengan sebutan ART (Asisten Rumah Tangga) sekarang ini. Tapi karena trauma masa kecil dulu, keluarga besar kami terbiasa tidak ada pembantu, hingga punya keluarga kecil sendiri pun demikian. Belum lagi suami yang pekerjaannya bolak-balik ke lapangan. Menurut versi kami, jika saya melanjutkan sekolah di Indonesia akan tidak mudah.

Memutuskan untuk bekerja setelah vakum 3 tahun di rumah, kami memperkenalkan Rafa dengan yang namanya daycare atau tempat penitipan anak. Alhamdulillah lokasi kerja saya yang berada di Puspiptek Serpong memiliki daycare. Sehingga setiap pagi, saya bisa membawanya ke kantor sebentar untuk absen (dan terkadang sarapan yang belum tuntas demi absen pagi) lalu menjemputnya lagi jam 4. Jarak dari rumah ke kantor dan daycare pun hanya 15 menit. Daycare di mana Oma memberi banyak pendidikan usia dini ini merupakan salah satu supporting system saya untuk bisa bekerja kembali. Dan terus begitu hingga adik Rafa juga turut serta masuk daycare di usianya yang masih 2 bulan.

Ketika saya harus ikut kegiatan di luar Serpong, supporting system nomor satu sayalah yang selalu mem-back up urusan dalam dan luar rumah. Kalau ditanya bisa tidak suami menceboki anak usia 3 tahun ketika saya harus dinas 3 hari, conference di luar negeri selama 7 hari, mengikuti Persiapan Keberangkatan 10 hari atau bahkan Prajab CNPS selama 1 bulan di Ciawi; jawabannya bisa! Bahkan yang pertama kali mengganti popok dan menceboki Rafa saat lahir itu bukan saya, tapi suami. Yandanya anak-anak. Supporting system kami nomor satu.

Tapi apakah saya, kami, akan tetap waras jika harus sekolah, mengulang adaptasi lagi dari nol jika harus pindah ke kota di mana salah satu perguruan tinggi berada? Ingat, ini sekolah pakai uang negara pula. Apalagi jika suami harus ke lapangan selama sebulan. Dan saat itu anak kami sudah dua.

 

Melangkah lebih jauh

Ya, ketika mengikuti seleksi beasiswa LPDP, saya tengah hamil 4 bulan. Semakin menguji kesabaran dan berlatih mempertahankan argumen saat reviewer, terutama psikolog, yang mendorong saya untuk tidak sekolah di luar negeri. Saat itu, saya meyakinkan mereka bahwa saya mampu sekolah di luar negeri, Jerman, walaupun membawa anak-anak. Seperti pengalaman seorang teman, Ira, yang sekolah di Jerman bersama anaknya.

Bahkan sebelum meyakinkan mereka, saya perlu diyakinkan oleh suami bahwa saya bisa mengambil jalan ini. Karena sejujurnya saya pun ragu apakah saya bisa.

Dan di sinilah saya sekarang. Bukan di Jerman. Belum. Melainkan di Jepang. Pernyataan reviewer, ā€œDi luar negeri lebih susah dan keras,ā€ alhamdulillah sudah terjalani selama 2 tahun ini dan justru saya ingin menjawab bahwa sekolah di luar negeri dengan membawa anak-anak itu lebih mudah daripada di Indonesia. Terutama pada kondisi keluarga kami, saya jadi tidak LDR lagi.

 

Kemudahan di Jepang

Di Jepang, semua sudah tertata dengan sistem yang teratur. Ketika saya mendaftarkan kami sekeluarga di kantor kecamatan (Kuyakusho), saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak untuk memperoleh children allowance di mana setiap bulan, kami menerima bantuan keuangan untuk kedua anak-anak. Selain itu, di luar kartu asuransi di mana setiap orang hanya membayar 30% biaya kesehatan, anak-anak juga memperoleh kartu kesehatan gratis! Dan saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak di daycare pemerintah (hoikuen) juga langsung di sana. One stop place to register all.

Perihal transportasi di sini pun lebih mampu mempertahankan kewarasan kami. Ketika saya diarahkan untuk sekolah di Indonesia, saya langsung membayangkan bagaimana transportasi dari rumah-daycare-kampus, yang mungkin menghisap kebahagian seperti dementor, eh, bisa menghabiskan waktu di jalan. Dan sampai di rumah, jika ada tugas, saya masih harus membagi antara anak-anak dan pekerjaan rumah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana saya menjambak-jambak rambut Ā jika harus memasak, melipat tumpukan jemuran, membuat tugas dan mengisi quality time dengan anak-anak dengan waktu yang keburu habis duluan.

Di sini, kembali pada masing-masing orang, saya bisa menerapkan rutinitas kantor bahwa ke kampus adalah dari jam 9 sampai jam 5. Tidak jauh berbeda dengan ngantor jam 8-4. Gunakan waktu seefisien mungkin seperti ngantor. Juga ingat komitmen awal untuk tidak membawa pekerjaan kantor/ kampus ke rumah kecuali urgent. Dan menurut kami, semua itu bisa terfasilitasi karena waktu tidak habis di jalan.

Jadi ketika reviewer bertanya lagi, ā€œKamu yakin mau sekolah di luar?ā€ Dengan mantap saat itu saya katakan sambil tersenyum bahwa saya siap karena di Indonesia pun kami sudah biasa hidup sendiri ā€“ dan mandiri.

Stigma ā€œKalau kuliah di luar negeri, saya bisa jadi lebih mandiriā€ karena di Indonesia itu mudah ā€“ dan jadi susah mandiri, menurut saya niatan itu bisa dieksekusi di negeri sendiri. Justru kemandirian harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.

—————————————————————————————————————————————

Tulisan ini ditulis mewakili para supermom yang menjadi inspirasi saya. Bukan saya.

Flashback:
Sendai, tahun ke-3 di bulan April.

Leave a Comment

Berangkat Bersama Keluarga ke Jepang

Kamu seorang ibu dengan dua anak atau lebih? Masih ingin melanjutkan sekolah? Kamu pasti bisa!

Ketika selesai wawancara LPDP akhir tahun 2015 lalu, rasanya saya berjanji pada rekan saya untuk menuliskan bagaimana ujian saat itu. Tapi saya bilang, saya akan menuangkannya dalam tulisan jika saya sudah lulus tes beasiswa. Tapi setelah lulus juga tidak sempat karena (sok) sibuk dengan rumah, kantor, Persiapan Keberangkatan, kehamilan, kelahiran, hingga akhirnya sekarang setelah 2 bulan ada di sini. Baiklah, mari kita coba share pengalaman saya itu.

Kenapa Jepang?

Ketika mendaftar LPDP, pilihan saya adalah Jerman. Alasannya banyak: 1. Suami saya sudah pernah diterima di Bonn, 2. Biaya hidup murah (berdasakan hasil diskusi dengan banyak orang), 3. Bisa membawa keluarga langsung tanpa deposit, 4. Secara tidak sadar, mengingatkan saya akan cita-cita sejak SMP karena punya penfriend di sana, 5. Biaya hidup di sana murah dan bisa bawa keluarga langsung. Itu.

Kenapa sih keukeuh harus bawa keluarga langsung? Karena saya ibu dari dua orang anak. Dan saat pengumuman seleksi LPDP, saya sedang hamil. Artinya ketika saya sekolah, anak ke-2 saya baru lahir. Sesuai komitmen awal kami untuk memberikan ASI selama 2 tahun, maka saya juga ingin berusaha yang terbaik bagi anak ke-2 kami.

Lalu apa yang terjadi? Selain saya gagal seleksi DAAD, professor saya di TUM pindah ke Umea, Swedia. Berdasarkan berbagai alasan tentang standar minimum pendapatan yang harus diterima mahasiswa PhD di Swedia, maka akhirnya saya mundur. FYI: ke Swedia juga bisa berangkat langsung bersama keluarga tanpa deposito – teman satu PK saya langsung berangkat bersama suami dan anaknya.

Terus kenapa Jepang?

Mungkin takdir, hahaha. Well, kalau ditilik-tilik, perjalanan ke sana alhamdulillah dimudahkan sekali. Dengar-dengar dari para alumni sebelumnya pun, membawa keluarga ke sana sini lebih dimudahkan daripada misal ke UK (di mana kamu harus punya deposito – yang saat itu masih lebih mahal dari rumah saya, huhu) atau Belanda (yang visa MVV-nya juga mencapai angka X00 juta), atau negara-negara lain yang mensyaratkan harus tinggal dulu baru bisa mengundang keluarga. Situasi tersebut bagi saya tidak mungkin. Jauh dari anak-anak dan masalah biaya adalah hal penting.

Jadi bagaimana supaya kamu bisa berangkat bersama ke sini?

Ada 3 cara.
1. Keluarga menyusul (yang ini buat saya mustahil),
2. Minta tolong dibuatkan Certificate of Eligibility (COE) oleh kampus (yang ini mulanya ditawarkan oleh Sensei, tapi kata kantor imigrasi, lebih baik keluarga student jadi dependent student itu sendiri). Mohon JANGAN maksa sama Sensei untuk ini karena akan merusak nama baik diri sendiri dan negara,
3. Berangkat bersama dengan keluarga menggunakan visa turis 3 bulan, lalu change visa status di sini.

Akhirnya, kami berangkat bersama dengan suami dan anak-anak memakai visa turis 3 bulan. Bagaimana caranya? Berikut langkah-langkahnya šŸ™‚

Membuat visa
Syaratnya apa saja bagi keluarga? Bisa dibaca diĀ sini. Kurang lebih seperti ini:

  1. Paspor.
  2. Formulir permohonan visa. [download (PDF)] dan Pasfoto terbaru (ukuran 4,5 X 4,5 cm, diambil 6 bulan terakhir dan tanpa latar, bukan hasil editing, dan jelas/tidak buram)
  3. Foto kopi KTP (Surat Keterangan Domisili) – kecuali anak-anak
  4. Fotokopi Kartu Mahasiswa atau Surat Keterangan Belajar (hanya bila masih mahasiswa) – tidak perlu
  5. Bukti pemesanan tiket (dokumen yang dapat membuktikan tanggal masuk-keluar Jepang) – saya menggunakan booking tiket, sayang kalau hangus Ā šŸ˜€
  6. Jadwal Perjalanan [ download (DOC)] (semua kegiatan sejak masuk hingga keluar Jepang) – yang cukup diisikan selama 3 bulan di lokasi tempat tinggal yang sama seperti kita (lampirkan bukti tempat tinggal juga)
  7. Fotokopi dokumen yang bisa menunjukkan hubungan dengan pemohon, seperti kartu keluarga, akta lahir, dlsb. (Bila pemohon lebih dari satu)
  8. Dokumen yang berkenaan dengan biaya perjalanan: – karena saya penerima beasiswa, saya melampirkan Letter of Guarantee dan Letter of Scholarship.
    * Fotokopi bukti keuangan, seperti rekening Koran atau buku tabungan 3 bulan terakhir (bila penanggung jawab biaya bukan pemohon seperti ayah/ibu, maka harus melampirkan dokumen yang dapat membuktikan hubungan dengan penanggung jawab biaya).
  9. Tambahan dari saya: sebenarnya ini jadi seperti mengundang keluarga tapi berangkat bersama, lampirkan jugaĀ Surat Jaminan [ download (PDF) ] bagi setiap orang. Saya juga melampirkan Letter of Acceptance (LOA) & COE saya dan surat dari Sensei bahwa mengizinkan membawa keluarga.
  10. Pengajuan bisa dilakukan bersamaan atau diri sendiri dulu kemudian keluarga. Saya melakukannya bersamaan.

Alhamdulillah dalam waktu tepat 4 hari, saya, kami memperoleh visa kami. Saya dengan lama tinggal sesuai COE, sedangkan keluarga sesuai dengan pengajuan maksimal selama 3 bulan. Dan karena ke Tohoku, maka biaya visa gratis! (Ayo, ke Tohoku! *promosi šŸ™‚ ).

Kemudian, setelah tiba di Jepang, jika masuk melalui bandara besar, maka akan langsung mendapatkan KTP (Zairyu Card). Untuk kasus saya, karena turun di Sendai, maka pembuatan KTP ini diajukan di kantor kecamatan dan kartunya akan dikirim ke tempat tinggal. Begitu dapat, langsung ke kantor imigrasi sesuai lokasi dan ajukan COE untuk keluarga.

Mengajukan COE (dengan posisi dependent sudah di Jepang)
Syaratnya? Ada di sini. Kurang lebih seperti ini:

  1. Formulir AplikasiĀ 1 berkas, download disini
  2. Foto 3cm X 4cm 1 buah
    1. Foto berwarna dengan latar belakang putih
    2. Foto harus 3 bulan terakhir – saran: bawalah foto berbagai ukuran dari Indonesia, soalnya di sini mahal, hehe.
    3. Tidak boleh pakai penutup wajah/kepala/topi, tapi klo kerudung jelas boleh
    4. Proporsi foto sebaiknyaĀ diperhatikan baik baik, jangan terlalu kecil wajahnya, harus jelas, dll. Aturan resmi proporsi tidak ada untuk CoE, tapi untuk visa ada banyak contohnya di sini
  3. A return mail envelope with affixed stamp 392 yen. AmplopĀ untuk pengiriman CoEĀ yang udah selesai/approved ke alamat tempat kita tinggal. Alamatnya kita tulis sendiri, perangko juga tempel sendiri. Ukuran amplop bebas, bisa tanya ke kantor pos setempat. Untuk perangko, harga di atas untuk 1 orang, jadi kemarin karena 3 orang untuk suami dan anak-anak, maka tambah 10 yen. Bisa langsung ditanyakan di tempat kok harganya.
  4. The supporting documents shown on the table. Jadi dokumen tambahan yang diperlukan bergantung jenis CoE yang kita Apply. Untuk Dependent, dokumen tambahan yang diperlukan adalah:
    1. Documents certifying the personal relationship between the person concerned and the person who is to support him or her. – Di sini saya melampirkan translasi/ translate-an dari Buku Nikah dan Akte Lahir anak-anak. Dalam bahasa Jepang. Tidak harus ke penerjemah tersumpah, bisa kepada teman yang orang Jepang.
    2. Copies of the registration certificate or the passport of the person who is to support the person concerned. Saya membawa Juminhyo alias surat keterangan tempat tinggal yang bisa diperoleh di kantor kecamatan setempat, si Zaryu Card, dan letter of enrollment dari kampus. Dan tentunya kopi passport.
    3. Documents certifying the profession and the income of the person who is to support the person concerned. Disini saya siapin surat keterangan pelajar dari kampus, dan LOG & LOS dari LPDP.
  5. Letter of Guarantee. Formulir bahwa kita akan jadi penjamin istri/anak kita. DownloadĀ di sini. Sama dengan dokumen surat jaminan point 9 di atas.
  6. Semua dokumen yang dikirimkan, tidak akan dikembalikan. Jadi setelah memperlihatkan semua yang asli, jangan lupa dibawa pulang, ya šŸ™‚

Nah, semua dokumen itu dijadikan satu bundle. Formulir COE untuk suami dan anak-anak beserta dokumen lainnya masing-masing 1 saja. Setelah diserahkan, duduk manislah di rumah.

Waktu itu saya sebagai emak yang khawatiran sampai bertanya kepada petugas. Biasanya berapa lama selesai COE keluarga? Satu bulan. Kalau lebih dari itu bagaimana? Jangan khawatir, pasti bisa. Soalnya anak saya masih menyusui. Jangan khawatir. Kalau perpanjang visa 3 bulan lagi bisa, Pak? Tidak perlu, pasti selesai.

Dan qodarullah! 2 minggu saja jadi! Segera setelah menerima COE keluarga, kami kembali ke kantor imigrasi. Oiya, pas apply COE, keluarga tidak ikut tidak apa-apa. Tapi pas change visa status, harus datang. Cukup bawa diri, si COE, passport, dan foto dari Indonesia itu! Karena kemarin suami lupa bawa hasil afdruk foto, jadilah terpaksa mengeluarkan kocek di photo booth. Kalau tidak salah setelah 1 jam selesai, kami dipanggil dan Zaryu Card suami dan anak-anak sudah jadi! Alhamdulillah. Dan period of validity di kartu alhamdulillah sama.

Sejak akhir April itu, kami sudah tenang di sini. Tidak khawatir lagi masalah visa. Alhamdulillah juga mendapat kemudahan lainnya. Mengenai social benefit, jika sudah melakukan pengajuan ke kantor kecamatan, kita akan dapat banyak manfaat baik untuk sekolah dan kesehatan anak-anak.

2017-06-07_13.35.51

Well, di situlah saya bersyukur. Dari sekian banyak negara – terutama Eropa, yang ingin saya tuju sebagai tempat kuliah, ternyata ke sini mendapat banyak kemudahan bagi keluarga. Mungkin kalau saya keukeuh ke Eropa, lain ceritanya. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi kami.

Semoga teman-teman yang lain juga tetap semangat sekolah dengan tetap menjaga keluarga. Jadi ingat kata Institut Ibu Profesional. Membangun peradaban dari dalam rumah. Ganbarimashou!

Sendai, 11 Ramadhan, 7 Juni 2017 – di sela-sela tugas kuliah.

Comments (10)