Archive for September, 2019

Wawancara beasiswa, mandiri, dan luar negeri (Jepang)

Tulisan ini ditulisan sebagai bahan evaluasi diri sendiri, bukan untuk menilai siapapun. Karena setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda 🙂

—————————————————————————————————————————————-

“Kenapa nggak sekolah di Indonesia saja? Lebih mudah.”
Pertanyaan itu dilayangkan oleh semua orang mulai dari reviewer beasiswa, kantor, dan tentunya keluarga.
“Iya, kalau di Indonesia, kan, mudah. Banyak yang bantu,” lanjut salah seorang reviewer.

Padahal di Indonesia, menurut versi kami adalah jauh lebih “rempong”. Kami jauh dari semua saudara. Hidup hanya bertiga saja, tidak pernah ada campur tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Bukan sombong tidak mau pakai pembantu atau yang lebih kece dikenal dengan sebutan ART (Asisten Rumah Tangga) sekarang ini. Tapi karena trauma masa kecil dulu, keluarga besar kami terbiasa tidak ada pembantu, hingga punya keluarga kecil sendiri pun demikian. Belum lagi suami yang pekerjaannya bolak-balik ke lapangan. Menurut versi kami, jika saya melanjutkan sekolah di Indonesia akan tidak mudah.

Memutuskan untuk bekerja setelah vakum 3 tahun di rumah, kami memperkenalkan Rafa dengan yang namanya daycare atau tempat penitipan anak. Alhamdulillah lokasi kerja saya yang berada di Puspiptek Serpong memiliki daycare. Sehingga setiap pagi, saya bisa membawanya ke kantor sebentar untuk absen (dan terkadang sarapan yang belum tuntas demi absen pagi) lalu menjemputnya lagi jam 4. Jarak dari rumah ke kantor dan daycare pun hanya 15 menit. Daycare di mana Oma memberi banyak pendidikan usia dini ini merupakan salah satu supporting system saya untuk bisa bekerja kembali. Dan terus begitu hingga adik Rafa juga turut serta masuk daycare di usianya yang masih 2 bulan.

Ketika saya harus ikut kegiatan di luar Serpong, supporting system nomor satu sayalah yang selalu mem-back up urusan dalam dan luar rumah. Kalau ditanya bisa tidak suami menceboki anak usia 3 tahun ketika saya harus dinas 3 hari, conference di luar negeri selama 7 hari, mengikuti Persiapan Keberangkatan 10 hari atau bahkan Prajab CNPS selama 1 bulan di Ciawi; jawabannya bisa! Bahkan yang pertama kali mengganti popok dan menceboki Rafa saat lahir itu bukan saya, tapi suami. Yandanya anak-anak. Supporting system kami nomor satu.

Tapi apakah saya, kami, akan tetap waras jika harus sekolah, mengulang adaptasi lagi dari nol jika harus pindah ke kota di mana salah satu perguruan tinggi berada? Ingat, ini sekolah pakai uang negara pula. Apalagi jika suami harus ke lapangan selama sebulan. Dan saat itu anak kami sudah dua.

 

Melangkah lebih jauh

Ya, ketika mengikuti seleksi beasiswa LPDP, saya tengah hamil 4 bulan. Semakin menguji kesabaran dan berlatih mempertahankan argumen saat reviewer, terutama psikolog, yang mendorong saya untuk tidak sekolah di luar negeri. Saat itu, saya meyakinkan mereka bahwa saya mampu sekolah di luar negeri, Jerman, walaupun membawa anak-anak. Seperti pengalaman seorang teman, Ira, yang sekolah di Jerman bersama anaknya.

Bahkan sebelum meyakinkan mereka, saya perlu diyakinkan oleh suami bahwa saya bisa mengambil jalan ini. Karena sejujurnya saya pun ragu apakah saya bisa.

Dan di sinilah saya sekarang. Bukan di Jerman. Belum. Melainkan di Jepang. Pernyataan reviewer, “Di luar negeri lebih susah dan keras,” alhamdulillah sudah terjalani selama 2 tahun ini dan justru saya ingin menjawab bahwa sekolah di luar negeri dengan membawa anak-anak itu lebih mudah daripada di Indonesia. Terutama pada kondisi keluarga kami, saya jadi tidak LDR lagi.

 

Kemudahan di Jepang

Di Jepang, semua sudah tertata dengan sistem yang teratur. Ketika saya mendaftarkan kami sekeluarga di kantor kecamatan (Kuyakusho), saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak untuk memperoleh children allowance di mana setiap bulan, kami menerima bantuan keuangan untuk kedua anak-anak. Selain itu, di luar kartu asuransi di mana setiap orang hanya membayar 30% biaya kesehatan, anak-anak juga memperoleh kartu kesehatan gratis! Dan saya bisa langsung mendaftarkan anak-anak di daycare pemerintah (hoikuen) juga langsung di sana. One stop place to register all.

Perihal transportasi di sini pun lebih mampu mempertahankan kewarasan kami. Ketika saya diarahkan untuk sekolah di Indonesia, saya langsung membayangkan bagaimana transportasi dari rumah-daycare-kampus, yang mungkin menghisap kebahagian seperti dementor, eh, bisa menghabiskan waktu di jalan. Dan sampai di rumah, jika ada tugas, saya masih harus membagi antara anak-anak dan pekerjaan rumah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana saya menjambak-jambak rambut  jika harus memasak, melipat tumpukan jemuran, membuat tugas dan mengisi quality time dengan anak-anak dengan waktu yang keburu habis duluan.

Di sini, kembali pada masing-masing orang, saya bisa menerapkan rutinitas kantor bahwa ke kampus adalah dari jam 9 sampai jam 5. Tidak jauh berbeda dengan ngantor jam 8-4. Gunakan waktu seefisien mungkin seperti ngantor. Juga ingat komitmen awal untuk tidak membawa pekerjaan kantor/ kampus ke rumah kecuali urgent. Dan menurut kami, semua itu bisa terfasilitasi karena waktu tidak habis di jalan.

Jadi ketika reviewer bertanya lagi, “Kamu yakin mau sekolah di luar?” Dengan mantap saat itu saya katakan sambil tersenyum bahwa saya siap karena di Indonesia pun kami sudah biasa hidup sendiri – dan mandiri.

Stigma “Kalau kuliah di luar negeri, saya bisa jadi lebih mandiri” karena di Indonesia itu mudah – dan jadi susah mandiri, menurut saya niatan itu bisa dieksekusi di negeri sendiri. Justru kemandirian harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.

—————————————————————————————————————————————

Tulisan ini ditulis mewakili para supermom yang menjadi inspirasi saya. Bukan saya.

Flashback:
Sendai, tahun ke-3 di bulan April.

Leave a Comment

(Anakku) Sekolah di Jepang (1)

Kali ini, saya ingin berbagi mengenai sekolah di Jepang usia SD 🙂

Tidak perlu daftar sekolah!

Sekolah di sini maksudnya adalah sekolah dasar alias SD. Karena TK di sini adalah swasta, maka statusnya tidak wajib. Dan TK tidak mengenal sistem zonasi. Untuk mendaftar TK sendiri, pendaftaran dibuka tanggal 1 Oktober dan pengembalian formulir biasanya 1 bulan setelahnya. Lengkapnya akan dibahas kemudian.

Kok, tidak perlu daftar sekolah?
Yup, karena semua sistem sudah terintegrasi, tidak ada seorang anak pun yang tidak memperoleh haknya untuk tidak sekolah.

Nah, jika datang di bulan April atau Oktober dan saat itu sudah masuk usia SD (6 tahun per 1 April), maka dilakukan prosedur yang sama seperti tulisan di sini, yaitu lapor diri ke kantor kecamatan dan dinas pendidikan. Namun jika di Jepang sudah lebih awal dan baru saja akan masuk usia SD, maka di sekitar bulan Oktober-November akan mendapat surat pemberitahuan bahwa anak kita masuk ke SD di zona tertentu. Di bulan berikutnya, akan mendapat panggilan lagi untuk tes kesehatan dan penjelasan lainnya di bulan Februari.

Tes kesehatan meliputi mengisi dokumen kesehatan anak (riwayat imunisasi, alergi, dan hal lain yang perlu diketahui sekolah), tes mata, tes pendengaran dan beberapa hal yang saya coba ingat-ingat kemudian.

Jadi tidak perlu takut anak tidak bisa sekolah. Malah diundang buat sekolah, lho!

Pulang sekolah, anakku harus ke mana?

IMG_4058

Salah satu dilema teman-teman yang belum mau membawa anaknya ke sini adalah sebuah pertanyaan, “Pulang sekolah, anakku gimana?”. Saya justru pertama tau dari teman-teman di Daycare Puspiptek dulu bahwa di Jepang ada semacam tempat penitipan khusus anak SD.

Jadi setelah mendapat panggilan sekolah, bulan Desember adalah bulan pendaftaran Jidoukan. Apa itu Jidoukan? Ini after school club-nya anak SD. Biasanya letaknya pas di sebelah SD-nya, atau di lingkungan perumahan.

Di SD Kunimi, Sendai, tempat anak-anak sekolah, ada 3 pilihan tempat mereka pulang setelah sekolah. 1. Kunimi Jidoukan, 2. Kaigamori Jidoukan, dan 3. Cocoro. No 1 dan 2 milik pemerintah. Jadi syaratnya sekali lagi untuk fasilitas milik pemerintah adalah sama seperti daftar Hoikuen, yakni kedua orang tua harus bekerja.

Bagaimana cara daftarnya?

Sebenarnya waktu pendaftaran adalah setiap bulan Desember. Namun ada kalanya di tengah jalan ada yang membutuhkan dan kebetulan ada yang pindah (di Jepang, sering sekali orang dipindahkan lokasi kerjanya, jadi sering sekali teman sekolah anak pindahan juga). Nah, pertama, telepon atau datanglah ke Jidoukan yang diinginkan untuk membuat janji. Jika ada tempat kosong, mereka akan menginformasikan kapan bisa mengambil formulir dan diterangkan bagaimana cara mengisinya.

Ada 3 bundle dokumen yang harus diisi. Bundle pertama adalah yang di-submit ke bank buat daftar autodebet biaya Jidoukan. Ke-2 adalah yang di-submit ke Jidoukan. Isinya banyak ada 5 kira-kira. Tentang data orang tua, anak, kesehatan anak, questioner, dan surat persetujuan. Dan yang ke-3 adalah permohonan keringanan biaya baik biaya Jidoukan maupun biaya ekstensi waktu untuk di-submit ke Dinas Pendidikan.

Jika semua persyaratan telah terpenuhi, maka pihak Jidoukan selanjutnya akan mengirimkan surat pemberitahuan penerimaan. Di surat juga terdapat beberapa isian dan apa saja yang harus dibawa saat briefing.

Baru saja Jumat, 13 September lalu menjadi translator untuk orang tua dan kedua teman baru Rafa yang akan masuk Kunimi Jidoukan. Kami di-briefing peraturan apa saja yang harus ditaati, baik saat musim sekolah dan liburan, jam pulang sendiri dan dijemput, makanan apa saja yang boleh, buku penghubung (Renrakucho) dan lain sebagainya.

Lengkapnya menyusul 🙂

 

 

Comments (1)

Registrasi Kedatangan Keluarga (Anak) di Jepang

Lokasi: Aoba-ku, Sendai-shi, Miyagi-ken, Jepang 🙂
Mungkin yang lokasinya berbeda, kurang lebih syaratnya sama. Semoga bermanfaat 🙂

Setelah tahun lalu membantu teman-teman yang istri dan anaknya pada nyusul, alhamdulillah semester kemarin, saya diamanahi untuk menjadi tutor. Setelah tahun pertama saya di sini dibantu teman, tahun kedua mulai gantian membantu, saya pikir, bagusnya semua didokumentasikan agar dapat dimanfaatkan dikemudian hari dan berharap bisa ditulis dalam bahasa Inggris suatu saat nanti. Tulisan kali ini adalah mengenai mendaftarkan keluarga yang baru datang melalui sistem COE atau Certificate of Elgibility – dan tentunya berlaku untuk yang datang langsung dengan keluarga seperti tulisan saya di sini.

Lapor diri

Ketika keluarga akhirnya tiba, sebaiknya keesokan harinya langsung lapor diri untuk registrasi. Terutama hal ini penting untuk memperoleh asuransi kesehatan! Anak-anak di bawah 6 tahun dapat memperoleh gratis berobat, sedangkan anak-anak pada usia sekolah (usia 6 tahun per 1 April) hanya bayar 500 Yen, serta dapat mengajukan children allowance. Dan bagi pasangan tentunya penting karena biaya berobat tanpa asuransi kesehatan itu luar biasa MAHAL! Jika ada, hanya 30% saja. Selain itu, penting untuk mendaftarkan sekolah bagi anak-anak, baik yang usia SD maupun yang lebih kecil.

Kebetulan kedua teman saya punya anak usia sekolah SD dan usia di bawah 6 tahun, yang artinya harus daftar tempat penitipan anak (Hoikuen).

Berikut tahapan-tahapannya:

1. Persiapkan dokumen berikut (sejak dari Indonesia)

  1. Bukti hubungan dengan suami/istri dan anak. Translate buku nikah, akte lahir dan kartu keluarga ke dalam Bahasa Jepang.
  2. Bawa rekam jejak imunisasi/ vaksinasi anak yang sudah dirapikan dalam satu dokumen dan ditandatangani dokter.
  3. Passport yang bersangkutan
  4. Residence card (Zairyuu ka-do) yang bersangkutan yang diperoleh di bandara (atau dikirim ke rumah, jika tidak turun di bandara besar seperti di Sendai). Jika datang dengan visa turis, proses berganti jenis visa bisa dilihat di sini.
  5. Buku rekening tabungan (bisa JP atau 77)
  6. Dokumen gaji selama setahun di Indonesia berupa surat keterangan bekerja yang menyertakan jumlah gaji pertahun dan lampiran gaji bulanan selama setahun.

2. Datang ke Kuyakusho sesuai alamat domisili. Kami berangkat pagi-pagi ke Aoba-kuyakusho. Pertama, datanglah ke loket untuk Non-Japanese. Di sana sebenarnya sudah ada contoh dalam Bahasa Inggris jadi tidak begitu sulit. Ada 3 dokumen yang harus diisi yaitu:

  1. Dokumen registrasi penambahan anggota keluarga (rangkap 3),
  2. Dokumen permohonan dibuatkan asuransi kesehatan pemerintah (Hokensho)
  3. Dokumen permohonan dibuatkan surat keterangan tempat tinggal (Juuminhyou)

 

3. Setelah diisi semua, (biasanya sudah ada petugas yang membantu), ambil antrian untuk memperoleh nomor urut. Ketika dipanggil, sang peregistrasi akan diminta menunjukkan: zairyuu card, hokensho, dan my number (kartu pajak). Dan tentunya beserta kelengkapan di atas.

4. Pembuatan hokensho dan juminhyo untuk anggota keluarga kita akan memakan waktu kira-kira 1-2 jam, tergantung jumlah orang yang diregistrasikan. Oleh karena itu, sambil menunggu nomor pengambilan di lantai 1 loket 5 nanti, maka kita bisa melakukan hal yang lain. Karena yang diregistrasikan adalah anak-anak, maka akan diperoleh surat pengantar untuk mengurus hal-hal sebagai berikut:

  1. Lantai 6 loket 1 : jika peregistrasi sudah tinggal setahun sebelumnya, dapat mengurus surat tax exemption (hikazei shoumeisho) di sini. Surat ini dapat digunakan untuk mengajukan keringan biaya-biaya (yang akan dijelaskan kemudian), salah satunya syarat memperoleh children allowance, keringanan: biaya sekolah, biaya hoikuen, biaya jidoukan, biaya air, dan lain sebagainya.
  2. Lantai 5 loket 3 : mengganti status hokensho kita yang asalnya single menjadi keluarga. Nanti akan dikirimkan segepok asuransi kesehatan yang harus dibayarkan setiap bulannya dalam 10 bulan. Dengan ini, apabila kita sakit, cukup membayar 30% dari biaya sebenarnya.
  3. Lantai 3 loket 4 (paling ujung) : mengurus permohonan children allowance. Ada kurang lebih 3 halaman dokumen dan surat pernyataan yang harus diisi menyatakan jumlah pemasukan yang bisa ditunjukan dengan hikazei shoumeisho dari lantai 6 tadi atau jika belum tinggal setahun, menggunakan dokumen gaji. Jika memenuhi persyaratan, maka anak usia 0-3 tahun akan memperoleh 15,000 Yen setiap bulan, sedangkan di atas 3 tahun memperoleh 10.000 Yen (hingga usia SMP). Jumlah uang ini akan diakumulasikan dalam 4 bulan. Sehingga akan diperoleh 3x dalam setahun ke dalam rekening yang kita daftarkan.
  4. Lantai 3 loket 2 : mengurus buku ibu dan anak (boshitechou). Bagi yang memiliki anak di bawah 6 tahun, maka diwajibkan memiliki buku ini. Di sini kita akan ditanya vaksinasi apa saja yang sudah diperoleh di negara asal (dengan menunjukan dokumen rekam imunisasi). Kemudian mereka akan memberikan kupon vaksinasi gratis dari jenis vaksinasi yang belum diperoleh. Mereka juga akan menjelaskan bahwa pada usia 6 bulan, 1.5, 2.5, 3.5 tahun akan dilaksanakan pemeriksaan kesehatan anak.
  5. Lantai 3 loket 1:
    Nah, ini loket paling lama, hihihi. Untuk mengurus hoikuen.
    Sebelumnya saya jelaskan bahwa usia kelas itu dihitung per 1 April. Jadi kalau anaknya lahir 2 April, maka dia terhitung masih 0 tahun, ketika yang lahir 1 April 1 tahun, hehe.
    Kelas dibagi usia 2 bulan – 12 bulan, 13 bulan – 2 tahun, 2-3, 3-4, 4-5, dan 5-6. Jadi ada 6 kelas terpisah.
    Berbeda dengan yang ingin mendaftarkan anaknya ke TK (Youchien) tidak perlu ke sini karena bersifat swasta sehingga langsung daftar ke sekolah, bukan ke Kuyakusho.

    Di sini kita akan mendapatkan penjelasan mengenai 4 jenis tempat penitipan anak yang dikelola oleh pemerintah, yang seperti disebut-sebut di atas sebagai Hoikuen. 1). Hoikuen besar yang isinya usia 0-6, 2). Hoikuen kecil yang isinya usia 0-3 tahun (jadi nanti saat 4 tahun harus pindah), 3). Hoikuen yang bekerja sama dengan yoichien (usia 4-6) dan 4). Mama hoikuen di mana seorang mama bersertifikasi memang maksimal 5 anak. 

    Selain itu, mereka akan menjelaskan banyak dokumen yang harus diisi dan dilampirkan dengan bukti. Syarat utama yang wajib diketahui adalah: anak yang didaftarkan di hoikuen, kedua orang tuanya harus bekerja/ bersekolah, dibuktikan dengan certificate enrollment alias gakusei shoumeisho. Detail dokumen bisa ditanyakan langsung pada saya. Isiannya seputar pertanyaan tentang anak dan orang tua.Pendaftaran tanggal 1-15 adalah untuk tanggal 1 bulan berikutnya. Dan 16-31 adalah untuk tanggal 16 bulan berikutnya. Sistemnya adalah memilih mau daftar ke mana (tidak zonasi) sesuai yang dimau, mengurutkan pilihan ke mana saja sebanyak-banyaknya (saya dulu 12, karena daftar bulan Juli/ Agustus bukan pada bulan April) dan waiting list jika penuh.

    Jika butuh sekali, ada tempat penitipan anak harian namun swasta. Harus daftar langsung ke sana.

    Bagaimana biayanya?
    Biaya disesuaikan dengan jumlah pemasukan. Pada umumnya mahasiswa dengan sumber beasiswa akan membayar 0 Yen. Detailnya akan saya bahas terpisah.

Untuk Anak Usia SD

Selesai ke semua loket di atas, eits, tunggu dulu! Jika punya anak usia SD (1 SD adalah anak usia 6 tahun per 1 April), mari kita ke gedung Dinas Pendididkan alias Gakujika di sebelah Aoba Kuyakusho. Jangan lupa nengok layar panggil di depan lantai 1 loket 5 jika hokensho dan juminhyou sudah bisa diambil. Jika sudah, untuk juminhyou dikenakan biaya 300 Yen per permintaan. Kok, perpermintaan? Jadi baik minta keterangan tempat tinggal buat diri sendiri maupun dengan anggota keluarganya, misal 4 orang, bayarnya sama 300 Yen.

Sekarang ke Gakujika. Di sini kita pergi ke lantai 11. Ruangannya pas yang depan lift. Di sini, kita cukup mendaftarkan alamat rumah kita di mana dan anak kita usia berapa. Nah, karena sekolah sudah merata, maka sistem zonasi di sini sudah diterapkan. Jadi kita nggak bisa pilih-pilih sekolah. Beberapa hari sebelumnya, saya menceritakan kedatangan calon murid baru ke sekolah, sehingga ketika staf di sini bertanya, kita bisa menyampaikan bahwa sudah memberi informasi ke sekolah. Setelahnya, kita akan dibekali surat penerimaan sekolah (shugaku tsuchisho) dari Gakujika dan di sekolah mana kita ditempatkan, serta tanggal berapa pertama kali masuk.

Demikian tulisan lapor diri bagi anak-anak kita. Insya Allah perihal terkait tulisan ini akan menyambung di kemudian hari. Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika ada pertanyaan, bisa langsung menguhubungi saya 🙂

Comments (2)